TUGAS MANDIRI
FIQIH KONTEMPORER
Tentang
TRANFUSI, TRANSPLANTASI, BANK ASI
Oleh
ROMI WIDODO :09 202 041
Dosen
PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM JURUSAN
SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
BATUSANGKAR
2012
TRANFUSI, TRANSPLANTASI, BANK ASI
A. TRANSFUSI DARAH
Transfusi (pemindahan) darah telah dilakukan oleh para
ahli kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya pada abad ke-18. pada
masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang dirintis oleh William Harvey
masih belum memuaskan. Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah
mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan bagi manusia. Namun para
ahli tidak henti-hentinya melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl Landsteiner
pada tahun 1900 telah menemukan golongan-golongan darah dan transfusi darah
tidak merupakan pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya banyak menolong
jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan kehilangan darah.
Dalam hal ini agama islam sangat menyambut baik
perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran yang menyangkut
pada permasalahan transfusi (pemindahan) darah manusia, dalam rangka
penyelamatan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah :
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºs $oYö;tF2 4n?tã ûÓÍ_t/ @ÏäÂuó Î) ¼çm¯Rr& `tB @tFs% $G¡øÿtR ÎötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù @tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ Ï9ºs Îû ÇÚöF{$# cqèùÎô£ßJs9 ÇÌËÈ
Oleh Karena itu kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena
membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia
seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka
seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya
Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa)
keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu
sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.
Pengertian Transfusi Darah
Menurut Dr.Rustam Masri, transfusi darah adalah proses
pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang
bertujuan untuk :
ü
menambahkan jumlah darah yang beredar dalam
badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya
pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya.
ü
menambah kemampaun darah dalam badan si sakit
untuk menambah atau membawa zat asam atau O2.
Dr. Ahmad Sopian memberikan pengertian, bahwa transfusi
darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh yang akan di tolong.
Dengan demikian, transfusi darah itu tiada lain adalah
suatu cara membantu pengobatan yang sudah ada dan darah hanya membantu saja
sebagai salah satu pelengkap daripada metode pengobatan. Namun demikian perlu
diperhatikan lagi, bahwa transfusi darah itu bukanlah pekerjaan yang tanpa
risiko dan mungkin merupakan suatu pekerjaan yang banyak risikonya bagi si
sakit.
Hubungan Antara Donor Dan Resipien (Penerima)
Adapun hubungan antara donor dan resipien (penerima)
setelah terjadi transfusi darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan
kemahraman (haram kawin), umpamanya di pandang sebagai saudra sepersusuan.
Sebab, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan
ditetepkan oleh agama islam sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa :23.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ËF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur ÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzy £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzy ÆÎgÎ/ xsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? ú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# wÎ) $tB ôs% y#n=y 3 cÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJÏm§ ÇËÌÈ
Diharamkan
atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu
yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu
yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki;
anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang
menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua);
anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu
campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu
ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu)
isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan)
dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya
Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Dari
ayat tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
ü
Mahram karena ada hubungan nasab. Misalnya
hubungan antara anak dengan ibunya atau saudaranya
sekandung/sebapak seibu.
ü
Mahram karena ada hubungan perkawinan. Misalnya
hubungan seseorang dengan mertuanya, anak tiri dari isterinya yang telah
dicampurinya.
ü
Mahram karena ada hubungan persusuan. Misalnya
hubungan seseorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang
sepersusuan.
Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak
mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dengan resipien (penerima).
Karena itu jika si donor dengan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan,
maka tidak ada larangan dalam agama islam.
Pandangan Agama Islam
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah
menyumbangkan drahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu
dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya, seperti untuk
keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia atau bank darah
untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong orang yang
memerlukan, apakah seagama atau tidak. Para
resipien sebaiknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama
dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah
mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut. Apabila hal ini dipersoalkan,
maka akan mengalami kesukaran bagi pengelola (Palang merah), karena penggunaan
darah itu harus memperhatikan juga golongan darah yang menerimanya.
Sebagai dasar hukum yang memperbolehkan donor darah ini,
dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut :
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ
الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu
itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor
darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik dari
Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu
dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi,
bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang
dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang. Umpamanya saja,
donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS dan penyakit-penyakit
lainya (yang dapat menular via darah), maka transfusi darah menjadi terlarang.
oleh sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya, harus dperiksa lebih
dahulu (bagi yang diduga ada penyakitnya). demikan juga darah tersebut harus
benar-benar bebas dari virus yang berbahaya, baru diberikan kepada yang
memerlukanya, sesuai dengan kaidah fiqihnya:
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ
Artinya : kemudharatan itu harus
dilenyapkan
Kaidah tersebut diatas bersumber dari firman Allh:
Artinya :…sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang
yang berbuat kerusakan (al-qashash:77)
Disamping itu lagi kaidah yang perlu diperhatikan :
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ
بِالضَّرَرِ
Artinya: kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan
kemudharatan lainya.
Umpamanya,si sakit yang memerlukan pertolongan
darah,dikorbankan donor yang kurang darah,walaupun dia rela.si sakit mungkin
dapat tertolong dengan darah tersebut,tetapi akan muncul bahaya baru, yaitu si
donor tadi.
Secara umum hendaknya dapat dipegang kaidah:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri dan tidak boleh
pula memudharatkan orang lain.
B. TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) ANGGOTA BADAN
Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to
transplant, yang berarti to move from one place to another,
bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu
kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari
tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan
sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu,
atau Transplantasi ialah pemindahan
organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ
tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Pencangkokan organ
tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah: mata, ginjal dan jantung,
karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia,
terutama sekali ginjal dan jantung. Mengenai donor mata pada dasarnya
dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah
melihat keindahan alam ciptaan Allah ini, ataupun orang yang menjadi buta
karena penyakit. Para donor yang kita kenal
sekarang ini lebih banyak dari kalangan orang yang sudah meninggal dunia dan
tidak banyak dari orang yang masih hidup.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab
kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut
dengan zar’u al-a’d{a. Kalau dalam literatur Arab klasik
transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan). Adapun
pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan
kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang
transplantasi di Indonesia
lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.
Pembagian Transplantasi
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri
membagi transplantasi itu pada dua bagian
1.
Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea
mata.
2.
Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal,
jantung dan sebagainya.
Melihat
dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang
ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau
organ), ada tiga macam pencangkokan :
ü
Auto
transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu
individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk,
diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
ü
Homo
transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya
individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis
manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan
resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang
telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
ü
Hetero transplantasi ialah yang donor dan
resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang
donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.
Pendapat Ulama Tentang Transplantasi
Para
ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh
manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan
pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya
transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum
Islam klasik dan kontemporer:
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam
karyanya Minhaj al-Talibin
mengatakan.
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang
yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhu>r (tidak
apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang
yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya, dikatakan jika
membahayakan atau (menimbulkan) kematian maka tidak mengambilnya (tulang
tersebut) itu dibolehkan”
Zakariya al-Ansari (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab,
kitab Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin
karya imam al-Nawawi (w. abad VI). Zakariya mengatakan.
“Jika ada seseorang melakukan penyambungan
tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada
tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan
tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur
kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib
membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging.
Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak
membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas ‘ibarah (teks)
kitab Fathu al-Wahhab di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung
tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan
yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang
suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia
itu hukumnya boleh.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah
transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia
mengatakan bahwa praktek transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia
lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh
berdasarklan hadith Nabi saw.
كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.
“Merusak
tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu
muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota
tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena
manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya
menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya
(warisan) anggota tubuh mayyit.
Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar
hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi, al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd
Allah al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan
kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh
mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya,
kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak
tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya
mengatakan:
Ada yang mengatakan bahwa
diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila
itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri
sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan
mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh
merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan
dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur : 33.
É#Ïÿ÷ètGó¡uø9ur tûïÏ%©!$# w tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuÏZøóã ª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 tûïÏ%©!$#ur tbqäótGö6t |=»tGÅ3ø9$# $£JÏB ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷r& öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkÏù #Zöyz ( Nèdqè?#uäur `ÏiB ÉA$¨B «!$# üÏ%©!$# öNä38s?#uä 4 wur (#qèdÌõ3è? öNä3ÏG»utGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷ur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gdÌõ3ã ¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian
(diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak
yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian
dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah
kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan
janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang
mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan
duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.
Sebagaimana
manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang
membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya
untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa
manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya,
tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak
boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang
sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang
sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama
sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ
tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan
ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Dari penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum
Islam terdapat perselisihan pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek
tersebut secara mutlak berdasarkan hadith Nabi saw dan dalil ‘aqli bahwa
anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah
yang harus dijaga hidup dan mati.
Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh
dengan beberapa syarat seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi
syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek
transplantasi menurut banyak pakar hukum Islam yaitu bahwa praktek tersebut
dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak
pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa praktek
transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail
Fiqhiyah menyebutkan kriteria boleh dan tidaknya transplantasi dalam pandangan
Islam :
Pertama; apabila pencangkokan dilakukan
atau diambil dari donor yang masih hidup maka Islam tidak membenarkannya.
Dasarnya adalah :
Surat Al-Baqarah ayat 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# wur (#qà)ù=è? öä3Ï÷r'Î n<Î) Ïps3è=ökJ9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$#
“ Dan belanjakanlah (harta bendamu)
di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam
kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang
yang berbuat baik.”
Ayat
di atas menunjukkan manunusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang
bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun hal tersebut mempunyai tujuan
kemanusiaan.
Kaidah hokum Islam
دَرْءُ
الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“ Menghindari
kerusakan/resiko didahulukan atas menarik kemaslahatan “
أَلضَّرَرُ
لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“ Bahaya tidak boleh
dihilangkan dengan bahaya lainnya ‘
Kedua; apabila pencangkokan
diambil dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper dipastikan meninggal,
maka Islam pun tidak membenarkannya. Dasarnya adalah:
Hadits Nabi riwayat Malik
dari Anas bin Yahya
لاَ
ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak boleh membikin madhlarat pada dirinya dan tidak
boleh membikin madhlarat pada orang lain".
Ketiga; apabila pencangkokan
diambilkan dari donor yang sudah meninggal secara kliniks dan yuridis, maka
Islam membolehkannya dengan syarat :
- Dalam keadaan darurat atau sangat membutuhkannya
- Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resepien.
Dasarnya adalah :
Al Qur’an surat
al-Maidah ayat 32
ô`tBur… $yd$uômr& !$uK¯Rr'x6sù $uômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 …
“… dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang
manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya… “
Hadits Nabi SAW
تَدَاوُوْا
عِبَادِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ
دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
“ berobatlah kamu hai
hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit,
kecuali Dia meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu
penyakit tua (pikun) (Hadits riwayat Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi, Abu Daud,
Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibran dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)”
Kaidah hokum Islam
الضَّرَرُ
يُزَالُ
“ Bahaya itu
harus dilenyapkan atau dihilangkan “
C.
BANK ASI
Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik bagi
bayi, karena pengelolaannya telah berjalan secara alami dalam tubuh si ibu.
Sebelum anak lahir, makanannya telah dipersiapkan lebih dahulu. Begitu anak itu
lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah
terhadap makhluknya.
Pada akhir-akhir ini, pemerintah selalu menghimbau
kepada kaum ibu, supaya persediaan makanan yang ada pada diri si ibu itu, jangan
disia-siakan kemudian menggantinya dengan makanan yang lain.
Menggunakan makanan lain seperti susu dan tepung yang
telah khusus untuk bayi, sebenarnya tidak dilarang tetapi sebagai makanan
tambahan. Air susu ibu, adalah makanan yang terpokok yang khusus dipersiapkan
untuk si bayi dan ASI itu sudah pasti cocok untuk bayi itu. Berbeda dengan
makanan lainnya, perlu ada penyesuaian, sebab ada kalanya si bayi itu mencret,
atau muntah-muntah, yang mengakibatkan bayi itu sakit.
Hukum Bank ASI
Ulama berbeda pandangan dalam menentukan hukum berdirinya
BANK ASI. Setidaknya ada tiga pandangan mengenai hal ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank
ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang
mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang
mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu
langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI,
sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan
dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai alasan
untuk melarang diadakannya “Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan
untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa
bank ASI bertujuan baik dan
mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang
lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah
bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para
wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak
lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh
menjual air susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita
yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga
hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang
pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat
dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih
dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradhawi, yang
menghalalkan bank ASI adalah
Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau
menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus
melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang
saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan
tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu
yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
Pendapat
Kedua menyatakan bahwa mendirikan Bank
ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan
tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan
sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan
langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di antara ulama kontemporer yang
tidak membenarkan adanya Bank ASI
adalah Prof. Dr. Wahbah
Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa
Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak
dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’
al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah
pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini
dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di
seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan
jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap
ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan
menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis
juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas
nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama
yang melarang bisa dihindari.
Prof.DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan
bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor ASI sepanjang itu
dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja Islam
mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam situasi
lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak ada
aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai
pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu
kambing dan sapi sudah ada,” . ini
berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena
memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu
pengganti dari susu ibu kandungnya.
“Hanya saja pencatatannya harus
benar dan kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena
5 kali meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan
keluarga si ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah,”.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu
langsung atau tidak langsung,
itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5
kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.
Sebab terjadinya perbedaan:
Terjadinya perbedaan pandangan ulama
mengenai hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami
tentang apa itu “radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui
dan berapa kali susuan:
Tentang Pengertian ar-Radha’
Para
ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut
Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara
seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar
radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi.
As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke
dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi
di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat
kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.
Batasan Umur
Para
ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui
yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya
adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman
Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ
يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ
الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan
anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan
penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang
menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari No. 2647 dan Muslim
No.3679).
Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang
mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini
berdasarkan hadits Aisyah ra
berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ
مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ
بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ
فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
“Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan
menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh
(dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan
ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim No.3670)
Cara Menyusu
Para
ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas
ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam
perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap
puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan cara “السعوط”as su’uth (memasukkan
susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara “الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan
cara yang lain.
Adapun
Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan
cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain
itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada
pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah
swt:
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ
الرَّضَاعَةِ
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui
kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’:
23)
KESIMPULAN
Jadi,
mengenai pencangkokan organ tubuh, tidak usah kita mempersoalkan para donor dan
resipiennya, karena tujuannya untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan
darurat. Sama halnya seperti tranfusi darah, tidak mempersoalkan donor dan
resipiennya.
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ
الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwa pada
prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang
mengharamkannya.
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan,
karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik dari Al-Qur'an maupun hadits.
Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat,
bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada
awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan
resipien, maka akhirnya menjadi terlarang.
Pemanfaatan
air susu dari bank ASI, adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram).
Sebab, selagi Ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anaknya itu, maka itulah
sebenarnya yang terbaik.
DAFTAR PUSTAKA
Departemem Agama, Al-Qur'an dan
Terjemahannya, Mahkota, Tahun 1989.
As-Suyuthi Imam, Al Asybah Wan
Nazhaair, Darul Fikri, Beirut.
Azhar Basyir Ahmad KH.MA. Refleksi
atas Persoalan Keislaman.Mizan, Bandung,
1993.
Muhammad Ali as-Shabun, Tafsir
Ayatil Ahkam, Maktabah Al-Ghazali, Syiria, Jilid 2, 1977.
Syaltut Mahmud, Al-Fatawa, Darul
Qalam, Kairo.
Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wal
Haram Fil Islam, Al-Maktab al-Islam 1978.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar