Jumat, 18 Mei 2012

TRANFUSI, TRANSPLANTASI, BANK ASI





TUGAS MANDIRI

FIQIH KONTEMPORER


Tentang
TRANFUSI, TRANSPLANTASI, BANK ASI

Oleh

ROMI WIDODO                                :09 202 041



Dosen


PROGRAM STUDI EKONOMI ISLAM JURUSAN SYARIAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
BATUSANGKAR
2012

TRANFUSI, TRANSPLANTASI, BANK ASI
A.    TRANSFUSI DARAH
Transfusi (pemindahan) darah telah dilakukan oleh para ahli kedokteran sejak ratusan tahun yang lalu tepatnya pada abad ke-18. pada masa itu pengetahuan tentang sirkulasi darah yang dirintis oleh William Harvey masih belum memuaskan. Dalam kondisi seperti itu pada umumnya transfusi darah mengalami kegagalan dan banyak mendatangkan kecelakaan bagi manusia. Namun para ahli tidak henti-hentinya melakukan percobaan sampai pada suatu saat Dr. Karl Landsteiner pada tahun 1900 telah menemukan golongan-golongan darah dan transfusi darah tidak merupakan pekerjaan yang berbahaya, tetapi sebaliknya banyak menolong jiwa manusia dari ancaman kematian disebabkan kehilangan darah.
Dalam hal ini agama islam sangat menyambut baik perkembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang kedokteran yang menyangkut pada permasalahan transfusi (pemindahan) darah manusia, dalam rangka penyelamatan jiwa manusia, sesuai dengan firman Allah :
ô`ÏB È@ô_r& y7Ï9ºsŒ $oYö;tFŸ2 4n?tã ûÓÍ_t/ Ÿ@ƒÏäÂuŽó Î) ¼çm¯Rr& `tB Ÿ@tFs% $G¡øÿtR ÎŽötóÎ/ C§øÿtR ÷rr& 7Š$|¡sù Îû ÇÚöF{$# $yJ¯Rr'x6sù Ÿ@tFs% }¨$¨Z9$# $YèÏJy_ ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4 ôs)s9ur óOßgø?uä!$y_ $uZè=ßâ ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ¢OèO ¨bÎ) #ZŽÏWx. Oßg÷YÏiB y÷èt/ šÏ9ºsŒ Îû ÇÚöF{$# šcqèùÎŽô£ßJs9 ÇÌËÈ

Oleh Karena itu kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan Karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan Karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan dia Telah membunuh manusia seluruhnya. dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah dia Telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya Telah datang kepada mereka rasul-rasul kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, Kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.

Pengertian Transfusi Darah
Menurut Dr.Rustam Masri, transfusi darah adalah proses pekerjaan memindahkan darah dari orang yang sehat kepada orang yang sakit, yang bertujuan untuk :
ü  menambahkan jumlah darah yang beredar dalam badan orang yang sakit yang darahnya berkurang karena sesuatu sebab, misalnya pendarahan, operasi, kecelakaan dan sebab lainnya.
ü  menambah kemampaun darah dalam badan si sakit untuk menambah atau membawa zat asam atau O2.
Dr. Ahmad Sopian memberikan pengertian, bahwa transfusi darah adalah memasukkan darah orang lain ke dalam pembuluh yang akan di tolong.
Dengan demikian, transfusi darah itu tiada lain adalah suatu cara membantu pengobatan yang sudah ada dan darah hanya membantu saja sebagai salah satu pelengkap daripada metode pengobatan. Namun demikian perlu diperhatikan lagi, bahwa transfusi darah itu bukanlah pekerjaan yang tanpa risiko dan mungkin merupakan suatu pekerjaan yang banyak risikonya bagi si sakit. 
Hubungan Antara Donor Dan Resipien (Penerima)
Adapun hubungan antara donor dan resipien (penerima) setelah terjadi transfusi darah, tidak membawa akibat hukum ada hubungan kemahraman (haram kawin), umpamanya di pandang sebagai saudra sepersusuan. Sebab, faktor-faktor yang dapat menyebabkan kemahramannya, sudah ditentukan dan ditetepkan oleh agama islam sebagaimana disebutkan dalam Q.S. An-Nisa :23.
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ
Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan saudara-saudaramu yang perempuan, Saudara-saudara bapakmu yang perempuan; Saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang Telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang Telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Dari ayat tersebut di atas dapat disimpulkan sebagai berikut :
ü  Mahram karena ada hubungan nasab. Misalnya hubungan antara anak dengan     ibunya atau saudaranya sekandung/sebapak seibu.
ü  Mahram karena ada hubungan perkawinan. Misalnya hubungan seseorang dengan mertuanya, anak tiri dari isterinya yang telah dicampurinya.
ü  Mahram karena ada hubungan persusuan. Misalnya hubungan seseorang dengan wanita yang pernah menyusuinya atau dengan orang yang sepersusuan.
Dengan demikian jelas, bahwa transfusi darah tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara donor dengan resipien (penerima). Karena itu jika si donor dengan resipien ingin mengadakan hubungan perkawinan, maka tidak ada larangan dalam agama islam.
Pandangan Agama Islam
Agama Islam tidak melarang seorang muslim atau muslimah menyumbangkan drahnya untuk tujuan kemanusiaan dan bukan komersial. Darah itu dapat disumbangkan secara langsung kepada yang memerlukannya, seperti untuk keluarga sendiri, atau diserahkan kepada Palang Merah Indonesia atau bank darah untuk disimpan dan sewaktu-waktu dapat digunakan untuk menolong orang yang memerlukan, apakah seagama atau tidak. Para resipien sebaiknya tidak usah mempertanyakan tentang donor, apakah seagama dengan dia atau tidak. Demikian juga sebaliknya si donor pun tidak usah mempersoalkan tentang penggunaan darah tersebut. Apabila hal ini dipersoalkan, maka akan mengalami kesukaran bagi pengelola (Palang merah), karena penggunaan darah itu harus memperhatikan juga golongan darah yang menerimanya.
Sebagai dasar hukum yang memperbolehkan donor darah ini, dapat dilihat dalam kaidah hukum Islam berikut :
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik dari Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang. Umpamanya saja, donor dalam keadaan berpenyakit menular seperti AIDS dan penyakit-penyakit lainya (yang dapat menular via darah), maka transfusi darah menjadi terlarang. oleh sebab itu, sebelum para donor memberikan darahnya, harus dperiksa lebih dahulu (bagi yang diduga ada penyakitnya). demikan juga darah tersebut harus benar-benar bebas dari virus yang berbahaya, baru diberikan kepada yang memerlukanya, sesuai dengan kaidah fiqihnya:
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ
Artinya : kemudharatan itu harus dilenyapkan

Kaidah tersebut diatas bersumber dari  firman Allh:
Artinya :…sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (al-qashash:77)
            Disamping itu lagi kaidah yang perlu diperhatikan :
اَلضَّرَرٌلايَزَالُ بِالضَّرَرِ

Artinya: kemudharatan tidak boleh dihilangkan dengan kemudharatan lainya.
Umpamanya,si sakit yang memerlukan pertolongan darah,dikorbankan donor yang kurang darah,walaupun dia rela.si sakit mungkin dapat tertolong dengan darah tersebut,tetapi akan muncul bahaya baru, yaitu si donor tadi.
Secara umum hendaknya dapat dipegang kaidah:
لاَضَرَرَوَلاَضِرَارَ
Tidak boleh memudhorotkan diri sendiri dan tidak boleh pula memudharatkan orang lain.

B.    TRANSPLANTASI (PENCANGKOKAN) ANGGOTA BADAN

Pengertian Transplantasi
Transplantasi berasal dari bahasa Inggris to transplant, yang berarti to move from one place to another, bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Adapun pengertian menurut ahli ilmu kedokteran, transplantasi itu ialah : Pemindahan jaringan atau organ dari tempat satu ke tempat lain. Yang dimaksud jaringan di sini ialah : Kumpulan sel-sel (bagian terkecil dari individu) yang sama mempunyai fungsi tertentu, atau Transplantasi ialah pemindahan organ tubuh yang masih mempunyai daya hidup sehat untuk menggantikan organ tubuh yang tidak sehat dan tidak berfungsi lagi dengan baik. Pencangkokan organ tubuh yang menjadi pembicaraan pada waktu ini adalah: mata, ginjal dan jantung, karena ketiga organ tubuh tersebut sangat penting fungsinya untuk manusia, terutama sekali ginjal dan jantung. Mengenai donor mata pada dasarnya dilakukan, karena ingin membagi kebahagiaan kepada orang yang belum pernah melihat keindahan alam ciptaan Allah ini, ataupun orang yang menjadi buta karena penyakit. Para donor yang kita kenal sekarang ini lebih banyak dari kalangan orang yang sudah meninggal dunia dan tidak banyak dari orang yang masih hidup.
Sedangkan transplantasi dalam literatur Arab kontemporer dikenal dengan istilah naql al-a’d{a’ atau juga disebut dengan zar’u al-a’d{a. Kalau dalam literatur Arab klasik transplantasi disebut dengan istilah al-was}l (penyambungan). Adapun pengertian transplantasi secara terperinci dalam literatur Arab klasik dan kontemporer sama halnya dengan keterangan ilmu kedokteran di atas. Sedang transplantasi di Indonesia lebih dikenal dengan istilah pencangkokan.
      Pembagian Transplantasi
Melihat dari pengertian di atas, Djamaluddin Miri membagi transplantasi itu pada dua bagian
1.                  Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2.                  Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya.
Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
ü  Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
ü  Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
ü  Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia.

      Pendapat Ulama Tentang Transplantasi
Para ulama fiqh (pakar hukum Islam) klasik sepakat bahwa menyambung organ tubuh manusia dengan organ manusia boleh selama organ lainnya tidak didapatkan. Sedangkan pakar hukum Islam kontemporer berbeda pendapat akan boleh dan tidaknya transplantasi organ tubuh manusia. Berikut ini pernyataan para pakar hukum Islam klasik dan kontemporer:
Imam al-Nawawi (w. abad VI) dalam karyanya Minhaj al-Talibin mengatakan.
“Jika seseorang menyambung tulangnya dengan barang yang najis karena tidak ada barang yang suci maka hukumnya udhu>r (tidak apa-apa). Namun, apabila ada barang yang suci kemudian disambung dengan barang yang najis maka wajib dibuka jika tidak menimbulkan bahaya, dikatakan jika membahayakan atau (menimbulkan) kematian maka tidak mengambilnya (tulang tersebut) itu dibolehkan”
Zakariya al-Ansari (abad IX) dalam karyanya Fathu al-Wahhab Sharh Manhaj al-Tullab, kitab Manhaj al-Tullab merupakan kitab ringkasan dari kitab Minhaj al-Talibin karya imam al-Nawawi (w. abad VI). Zakariya mengatakan.
“Jika ada seseorang melakukan penyambungan tulangnya atas dasar butuh dengan tulang yang najis dengan alasan tidak ada tulang lain yang cocok. Maka hal itu, diperbolehkan dan sah sholatnya dengan tulang najis tersebut. Kecuali, jika dalam penyambungan itu tidak ada unsur kebutuhan atau ada tulang lain yang suci selain tulang manusia maka ia wajib membuka (mencabut) kembali tulang najis tersebut walaupun sudah tertutup oleh daging. Dengan catatan, jika proses pengambilan tulang najis tersebut aman (tidak membahayakan) dan tidak menyebabkan kematian”.
Al-Bujayrami, dalam komentarnya atas ‘ibarah (teks) kitab Fathu al-Wahhab di atas, mengatakan bahwa tidak diperbolehkannya menyambung tulang dengan tulang manusia, jika yang lain masih ada walaupun tulangnya hewan yang najis seperti celeng dan anjing. Oleh karena itu, jika yang lain baik yang suci maupun yang najis tidak ada, maka menyambung tulang dengan tulang manusia itu hukumnya boleh.
Pakar hukum Islam kontemporer dalam masalah transplantasi boleh dan tidaknya ada dua pendapat :
Pertama, Ibn Baz ulama dari Saudi Arabia mengatakan bahwa praktek transplantasi anggota tubuh manusia kepada manusia lainnya yang dilakukan atas dasar kemaslahatan pada orang lain itu tidak boleh berdasarklan hadith Nabi saw.

كَسْرُ عَظْمِ الْمَيِّتِ كَكَسْرِهِ حَيًّا.
“Merusak tulang orang mati hukumnya sama dengan merusak tulang orang hidup”.
Hadith tersebut menunjukkan bahwa manusia itu muhtaramah (mulya) hidup dan matinya dan kalaupun si mayyit mewasiatkan anggota tubuhnya untuk diberikan kepada orang lain, maka wasiat itu tidak sah karena manusia tidak mempunyai (hak atas) tubuhnya sendiri dan ahli waris hanya menerima warisan dari mayyit harta peninggalan saja bukan termasuk di dalamnya (warisan) anggota tubuh mayyit.
Kedua, berbeda dengan Ibn Baz para pakar hukum Islam kontemporer di antaranya Qardawi, al-Buti, Abd Allah Kanun dan Abd Allah al-Faqih yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dan kebolehannya itu bersifat muqayyad (bersyarat). Seseorang tidak boleh mendonorkan sebagian organ tubuhnya yang justru akan menimbulkan bahaya, kesulitan dan kesengsaraan bagi dirinya atau bagi seseorang yang punya hak tetap atas dirinya misalnya suami atau orang tua. Qardawi dalam fatwanya mengatakan:
 Ada yang mengatakan bahwa diperbolehkannya seseorang mendermakan atau mendonorkan sesuatu ialah apabila itu miliknya. Maka, apakah seseorang itu memiliki tubuhnya sendiri sehingga ia dapat mempergunakan sekehendak hatinya, misalkan mendodnorkannya. Lanjut Qardawi, perlu diperhatikan bahwa meskipun tubuh merupakan titipan dari Allah, tetapi manusia diberi wewenang untuk memanfaatkan dan mempergunakannya, sebagaimana harta. Sebagaimana firman Allah SWT. Dalam surat an-Nur : 33.
É#Ïÿ÷ètGó¡uŠø9ur tûïÏ%©!$# Ÿw tbrßÅgs %·n%s3ÏR 4Ó®Lym ãNåkuŽÏZøóムª!$# `ÏB ¾Ï&Î#ôÒsù 3 tûïÏ%©!$#ur tbqäótGö6tƒ |=»tGÅ3ø9$# $£JÏB ôMs3n=tB öNä3ãZ»yJ÷ƒr& öNèdqç7Ï?%s3sù ÷bÎ) öNçGôJÎ=tæ öNÍkŽÏù #ZŽöyz ( Nèdqè?#uäur `ÏiB ÉA$¨B «!$# üÏ%©!$# öNä38s?#uä 4 Ÿwur (#qèd̍õ3è? öNä3ÏG»uŠtGsù n?tã Ïä!$tóÎ7ø9$# ÷bÎ) tb÷Šur& $YYÁptrB (#qäótGö;tGÏj9 uÚttã Ío4quŠptø:$# $u÷R9$# 4 `tBur £`gd̍õ3ム¨bÎ*sù ©!$# .`ÏB Ï÷èt/ £`ÎgÏdºtø.Î) Öqàÿxî ÒOÏm§ ÇÌÌÈ  
Dan orang-orang yang tidak mampu kawin hendaklah menjaga kesucian (diri)nya, sehingga Allah memampukan mereka dengan karunia-Nya. dan budak-budak yang kamu miliki yang memginginkan perjanjian, hendaklah kamu buat perjanjian dengan mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. dan janganlah kamu paksa budak-budak wanitamu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri mengingini kesucian, Karena kamu hendak mencari keuntungan duniawi. dan barangsiapa yang memaksa mereka, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (kepada mereka) sesudah mereka dipaksa itu.

Sebagaimana manusia boleh mendermakan sebagian hartanya untuk kepentingan orang lain yang membutuhkannya, maka diperkenankan juga seseorang mendermakan sebagian tubuhnya untuk orang lain yang memerlukannya. Hanya saja perbedaannya adalah bahwa manusia adakalanya boleh mendermakan atau membelanjakan seluruh hartanya, tetapi dia tidak boleh mendermakan seluruh anggota badannya. Bahkan ia tidak boleh mendermakan dirinya (mengorbankan dirinya) untuk menyelamatkan orang sakit dari kematian, dari penderitaan yang sangat atau dari kehidupan yang sengsara.
Sementara hasil keputusan Muktamar Nahdlatul Ulama sebagaimana termaktub dalam ahkamul fuqaha mengatakan bahwa pecangkokan organ tubuh manusia ada yang membolehkan dengan syarat : Karena diperlukan, dengan ketentuan tertib pengamanan dan tidak ditemukan selain organ tubuh manusia itu.
Dari penjelasan di atas bahwa transpslntasi dalam hukum Islam terdapat perselisihan pendapat dalam hal ini ada yang melarang praktek tersebut secara mutlak berdasarkan hadith Nabi saw dan dalil ‘aqli bahwa anggota tubuh manusia bukan milik manusia sendiri melainkan hanya titipan Allah yang harus dijaga hidup dan mati. 
Sementara pakar hukum Islam lainnya mengatakan boleh dengan beberapa syarat seperti dijelaskan di atas, kalau tidak memenuhi syarat-syaratnya maka hukumnya sebagaimana pendapat pertama yaitu tidak boleh.
Termasuk syarat yang memperbolehkan praktek transplantasi menurut banyak pakar hukum Islam yaitu bahwa praktek tersebut dilakukan dengan hibah (pemberian) tanpa adanya jual beli di antara dua pihak pendonor dan resipien namun ada pendapat yang mengatakan bahwa praktek transplantasi boleh dilakukan dengan jual beli.
Prof. Drs. H. Masjfuk Zuhdi, dalam bukunya Masail Fiqhiyah menyebutkan kriteria boleh dan tidaknya transplantasi dalam pandangan Islam :
Pertama; apabila pencangkokan dilakukan atau diambil dari donor yang masih hidup maka Islam tidak membenarkannya. Dasarnya adalah :
                   Surat Al-Baqarah ayat 195
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? öä3ƒÏ÷ƒr'Î n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$#  
“ Dan belanjakanlah (harta bendamu) di jalan Allah, dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik.”
Ayat di atas menunjukkan manunusia agar tidak gegabah dalam berbuat sesuatu yang bisa berakibat fatal bagi dirinya, sekalipun hal tersebut mempunyai tujuan kemanusiaan.
                   Kaidah hokum Islam
دَرْءُ الْمَفَاسِدِ مُقَدَّمٌ عَلَى جَلْبِ الْمَصَالِحِ
“ Menghindari kerusakan/resiko didahulukan atas menarik kemaslahatan “
أَلضَّرَرُ لاَ يُزَالُ بِالضَّرَرِ
“ Bahaya tidak boleh dihilangkan dengan bahaya lainnya ‘
Kedua; apabila pencangkokan diambil dari donor yang dalam keadaan koma atau hamper dipastikan meninggal, maka Islam pun tidak membenarkannya. Dasarnya adalah:
Hadits Nabi riwayat Malik dari Anas bin Yahya
لاَ ضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ
"Tidak boleh membikin madhlarat pada dirinya dan tidak boleh membikin madhlarat pada orang lain".
Ketiga; apabila pencangkokan diambilkan dari donor yang sudah meninggal secara kliniks dan yuridis, maka Islam membolehkannya dengan syarat :
  1. Dalam keadaan darurat atau sangat membutuhkannya
  2. Pencangkokan tidak akan menimbulkan komplikasi penyakit yang lebih gawat bagi resepien.
Dasarnya adalah :
Al Qur’an surat al-Maidah ayat 32
ô`tBur $yd$uŠômr& !$uK¯Rr'x6sù $uŠômr& }¨$¨Y9$# $YèÏJy_ 4   
“… dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya… “

Hadits Nabi SAW
تَدَاوُوْا عِبَادِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ لَمْ يَضَعْ دَاءً إِلاَّ وَضَعَ لَهُ دَوَاءً غَيْرَ دَاءٍ وَاحِدٍ الْهَرَمُ
“ berobatlah kamu hai hamba-hamba Allah, karena sesungguhnya Allah tidak meletakkan sesuatu penyakit, kecuali Dia meletakkan obat penyembuhnya, selain penyakit yang satu yaitu penyakit tua (pikun) (Hadits riwayat Ahmad bin Hambal, Al-Tirmidzi, Abu Daud, Al-Nasa’i, Ibnu Majah, Ibnu Hibran dan Al-Hakim dari Usamah bin Syarik)”
Kaidah hokum Islam
الضَّرَرُ يُزَالُ
“ Bahaya itu harus dilenyapkan atau dihilangkan “

C.     BANK ASI
Air susu ibu (ASI) adalah makanan yang terbaik bagi bayi, karena pengelolaannya telah berjalan secara alami dalam tubuh si ibu. Sebelum anak lahir, makanannya telah dipersiapkan lebih dahulu. Begitu anak itu lahir, air susu ibu telah dapat dimanfaatkan. Demikian kasih sayang Allah terhadap makhluknya.
Pada akhir-akhir ini, pemerintah selalu menghimbau kepada kaum ibu, supaya persediaan makanan yang ada pada diri si ibu itu, jangan disia-siakan kemudian menggantinya dengan makanan yang lain.
Menggunakan makanan lain seperti susu dan tepung yang telah khusus untuk bayi, sebenarnya tidak dilarang tetapi sebagai makanan tambahan. Air susu ibu, adalah makanan yang terpokok yang khusus dipersiapkan untuk si bayi dan ASI itu sudah pasti cocok untuk bayi itu. Berbeda dengan makanan lainnya, perlu ada penyesuaian, sebab ada kalanya si bayi itu mencret, atau muntah-muntah, yang mengakibatkan bayi itu sakit.
Hukum Bank ASI
Ulama berbeda pandangan dalam menentukan hukum berdirinya BANK ASI. Setidaknya ada tiga pandangan mengenai hal ini:
Pendapat Pertama menyatakan bahwa mendirikan bank ASI hukumnya boleh. Di antara alasan mereka sebagai berikut: Bayi yang mengambil air susu dari bank ASI tidak bisa menjadi mahram bagi perempuan yang mempunyai ASI tersebut, karena susuan yang mengharamkan adalah jika dia menyusu langsung dengan cara menghisap puting payudara perempuan yang mempunyai ASI, sebagaimana seorang bayi yang menyusu ibunya. Sedangkan dalam bank ASI, sang bayi hanya mengambil ASI yang sudah dikemas.
Ulama besar semacam Prof.Dr. Yusuf Al-Qardhawi menyatakan bahwa dia tidak menjumpai alasan untuk melarang diadakannya Bank ASI.” Asalkan bertujuan untuk mewujudkan mashlahat syar’iyah yang kuat dan untuk memenuhi keperluan yang wajib dipenuhi.
Beliau cenderung mengatakan bahwa bank ASI bertujuan baik dan mulia, didukung oleh Islam untuk memberikan pertolongan kepada semua yang lemah, apa pun sebab kelemahannya. Lebih-lebih bila yang bersangkutan adalah bayi yang baru dilahirkan yang tidak mempunyai daya dan kekuatan.
Beliau juga mengatakan bahwa para wanita yang menyumbangkan sebagian air susunya untuk makanan golongan anak-anak lemah ini akan mendapatkan pahala dari Allah SWT, dan terpuji di sisi manusia. Bahkan sebenarnya wanita itu boleh menjual air susunya, bukan sekadar menyumbangkannya. Sebab di masa Nabi (Muhammad) s.a.w., para wanita yang menyusui bayi melakukannya karena faktor mata pencaharian. Sehingga hukumnya memang diperbolehkan untuk menjual air susu.
Bahkan Al-Qardhawi memandang bahwa institusi yang bergerak dalam bidang pengumpulan “air susu” itu yang mensterilkan serta memeliharanya agar dapat dinikmati oleh bayi-bayi atau anak-anak patut mendapatkan ucapan terima kasih dan mudah-mudahan memperoleh pahala.
Selain Al-Qaradhawi, yang menghalalkan bank ASI adalah Al-Ustadz Asy-Syeikh Ahmad Ash-Shirbasi, ulama besar Al-Azhar Mesir. Beliau menyatakan bahwa hubungan mahram yang diakibatkan karena penyusuan itu harus melibatkan saksi dua orang laki-laki. Atau satu orang laki-laki dan dua orang saksi wanita sebagai ganti dari satu saksi laki-laki.
Bila tidak ada saksi atas penyusuan tersebut, maka penyusuan itu tidak mengakibatkan hubungan kemahraman antara ibu yang menyusui dengan anak bayi tersebut.
Pendapat Kedua menyatakan bahwa mendirikan Bank ASI hukumnya haram. Alasan mereka bahwa Bank ASI ini akan menyebabkan tercampurnya nasab, karena susuan yang mengharamkan bisa terjadi dengan sampainya susu ke perut bayi tersebut, walaupun tanpa harus dilakukan penyusuan langsung, sebagaimana seorang ibu yang menyusui anaknya.
Di antara ulama kontemporer yang tidak membenarkan adanya Bank ASI adalah Prof. Dr. Wahbah Az-Zuhayli. Dalam kitab Fatawa Mu’ashirah, beliau menyebutkan bahwa mewujudkan institusi bank susu tidak dibolehkan dari segi syariah.
Demikian juga dengan Majma’ al-Fiqih al-Islamiy melalui Badan Muktamar Islam yang diadakan di Jeddah pada tanggal 22–28 Desember 1985 M./10–16 Rabiul Akhir 1406 H.. Lembaga ini dalam keputusannya (qarar) menentang keberadaan bank air susu ibu di seluruh negara Islam serta mengharamkan pengambilan susu dari bank tersebut.
Pendapat Ketiga menyatakan bahwa pendirian Bank ASI dibolehkan jika telah memenuhi beberapa syarat yang sangat ketat, di antaranya : setiap ASI yang dikumpulkan di Bank ASI, harus disimpan di tempat khusus dengan menulis nama pemiliknya dan dipisahkan dari ASI-ASI yang lain. Setiap bayi yang mengambil ASI tersebut harus ditulis juga dan harus diberitahukan kepada pemilik ASI tersebut, supaya jelas nasabnya. Dengan demikian, percampuran nasab yang dikhawatirkan oleh para ulama yang melarang bisa dihindari.
Prof.DR. Ali Mustafa Ya’qub, MA., salah seorang Ketua MUI Pusat menjelaskan bahwa tidak ada salahnya mendirikan Bank ASI dan Donor ASI sepanjang itu dibutuhkan untuk kelangsungan hidup anak manusia. “Hanya saja Islam mengatur, jika si ibu bayi tidak dapat mengeluarkan air susu atau dalam situasi lain ibu si bayi meninggal maka si bayi harus dicarikan ibu susu. Tidak ada aturan main dalam Islam dalam situasi tersebut mencarikan susu sapi sebagai pengganti, kendatipun zaman nabi memang tidak ada susu formula tapi susu kambing dan sapi sudah ada,” . ini berarti bahwa mendirikan Bank ASI dan donor ASI boleh-boleh saja karena memang Islam tidak mentoleransi susu yang lain selain susu Ibu sebagai susu pengganti dari susu ibu kandungnya.
“Hanya saja pencatatannya harus benar dan kedua keluarga harus dipertemukan serta diberikan sertifikat. Karena 5 kali meminum susu dari ibu menyebabkan menjadi mahramnya si anak dengan keluarga si ibu susu. Artinya anak mereka tidak boleh menikah,”.
Menurut Prof. Ali, masalah menyusu langsung atau tidak langsung, itu hanya masalah teknik mengeluarkan susu saja, hukumnya sama. “Jika sudah 5 kali meminum susu maka jatuh hukum mahram kepada keduanya.


Sebab terjadinya perbedaan:
Terjadinya perbedaan pandangan ulama mengenai hal tersebut di atas disebabkan adanya perbedaan dalam memahami tentang apa itu “radha’ah”, berapa batasan umur, bagaimana cara menyusui dan berapa kali susuan:
Tentang Pengertian ar-Radha’
Para ulama berbeda pendapat dalam mendefinisikan ar -radha’. Menurut Hanafiyah bahwa ar-Radha’ adalah seorang bayi yang menghisap puting payudara seorang perempuan pada waktu tertentu. Sedangkan Malikiyah mengatakan bahwa ar radha’ adalah masuknya susu manusia ke dalam tubuh yang berfungsi sebagai gizi. As Syafi’iyah mengatakan ar-radha’ adalah sampainya susu seorang perempuan ke dalam perut seorang bayi. Al Hanabilah mengatakan ar-radha’ adalah seorang bayi di bawah dua tahun yang menghisap puting payudara perempuan yang muncul akibat kehamilan, atau meminum susu tersebut atau sejenisnya.
Batasan Umur
Para ulama berbeda pendapat di dalam menentukan batasan umur ketika orang menyusui yang bisa menyebabkan kemahraman. Mayoritas ulama mengatakan bahwa batasannya adalah jika seorang bayi berumur dua tahun ke bawah. Dalilnya adalah firman Allah swt:
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ
“Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. “ (QS. Al Baqarah: 233)
Hadist Aisyah ra, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
فَإِنَّمَا الرَّضَاعَةُ مِنَ الْمَجَاعَةِ
“ Hanyasanya persusuan (yang menjadikan seseorang mahram) terjadi karena lapar”(HR Bukhari No. 2647 dan Muslim No.3679).



Jumlah Susuan
Madzhab Syafi’i dan Hanbali mengatakan bahwa susuan yang mengharamkan adalah jika telah melewati 5 kali susuan secara terpisah. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah ra berikut ini:
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا قَالَتْ كَانَ فِيمَا أُنْزِلَ مِنَ الْقُرْآنِ عَشْرُ رَضَعَاتٍ مَعْلُومَاتٍ يُحَرِّمْنَ. ثُمَّ نُسِخْنَ بِخَمْسٍ مَعْلُومَاتٍ فَتُوُفِّىَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَهُنَّ فِيمَا يُقْرَأُ مِنَ الْقُرْآنِ.
Dahulu dalam Al Qur`an susuan yang dapat menyebabkan menjadi mahram ialah sepuluh kali penyusuan, kemudian hal itu dinasakh (dihapus) dengan lima kali penyusuan saja. Lalu Rasulullah saw wafat, dan ayat-ayat Al Qur`an masih tetap di baca seperti itu.” (HR Muslim No.3670)
Cara Menyusu
Para ulama berbeda pendapat tentang tata cara menyusu yang bisa mengharamkan:
Mayoritas ulama mengatakan bahwa yang penting adalah sampainya air susu tersebut ke dalam perut bayi, sehingga membentuk daging dan tulang, baik dengan cara menghisap puting payudara dari perempuan langsung, ataupun dengan caraالسعوطas su’uth (memasukkan susu ke lubang hidungnya), atau dengan cara الوجور”/al- wujur (menuangkannya langsung ke tenggorakannya), atau dengan cara yang lain.
Adapun Madzhab Dhahiriyah mengatakan bahwa persusuan yang mengharamkan hanyalah dengan cara seorang bayi menghisap puting payu dara perempuan secara langsung. Selain itu, maka tidak dianggap susuan yang mengharamkan. Mereka berpegang kepada pengertian secara lahir dari kata menyusui yang terdapat di dalam firman Allah swt:
وَأُمَّهَاتُكُمُ اللَّاتِي أَرْضَعْنَكُمْ وَأَخَوَاتُكُمْ مِنَ الرَّضَاعَةِ
“(Diharamkan atas kamu mengawini) Ibu-ibumu yang menyusui kamu dan saudara perempuan sepersusuan “ (QS.An-Nisa’: 23)

KESIMPULAN

Jadi, mengenai pencangkokan organ tubuh, tidak usah kita mempersoalkan para donor dan resipiennya, karena tujuannya untuk kemanusiaan dan dilakukan dalam keadaan darurat. Sama halnya seperti tranfusi darah, tidak mempersoalkan donor dan resipiennya.
اَلاَصْلُ فِى الاَشْيَاءِالاِباَحَةُ حَتَّى يَدُلَّ الدَّلِيْلُ عَلَى تَحْرِيْمِهَا
Bahwa pada prinsipnya segala sesuatu itu boleh (mubah), kecuali ada dalil yang mengharamkannya.
            Berdasarkan kaidah tersebut di atas, maka hukum donor darah itu diperbolehkan, karena tidak ada dalil yang melarangnya, baik dari Al-Qur'an maupun hadits. Namun demikian tidak berarti, bahwa kebolehan itu dapat dilakukan tanpa syarat, bebas lepas begitu saja. Sebab bisa saja terjadi, bahwa sesuatu yang pada awalnya diperbolehkan, tetapi karena ada hal-hal yang dapat membahayakan resipien, maka akhirnya menjadi terlarang.
Pemanfaatan air susu dari bank ASI, adalah dalam keadaan terpaksa (bukan karena haram). Sebab, selagi Ibu si bayi itu masih mungkin menyusukan anaknya itu, maka itulah sebenarnya yang terbaik.







DAFTAR PUSTAKA

Departemem Agama, Al-Qur'an dan Terjemahannya, Mahkota, Tahun 1989.
As-Suyuthi Imam, Al Asybah Wan Nazhaair, Darul Fikri, Beirut.
Azhar Basyir Ahmad KH.MA. Refleksi atas Persoalan Keislaman.Mizan, Bandung, 1993.
Muhammad Ali as-Shabun, Tafsir Ayatil Ahkam, Maktabah Al-Ghazali, Syiria, Jilid 2, 1977.
Syaltut Mahmud, Al-Fatawa, Darul Qalam, Kairo.
Yusuf Qardhawi, Al-Halal Wal Haram Fil Islam, Al-Maktab al-Islam 1978.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar