BANK SYARIAH
PADA SAAT KRISIS MONETER
Paradigma baru yang berkembang pasca
krisis ekonomi tahun 1997 dan 1998 adalah perlunya dilakukan pengembangan
ekonomi kerakyatan, dengan target pertumbuhan ekonomi yang didorong dari
bawah/masyarakat. Keterbatasan prasarana ekonomi berupa lembaga keuangan yang
mampu merealisasikan cita-cita luhur untuk mengangkat harkat dan derajat
perekonomian bangsa kita terkendala, karena kebijakan bunga yang sangat
tinggi (sampai dengan 65% pertahun) pada masa krisis, kondisi ini jelas
tidak memungkinkan adanya dukungan terhadap pola pengembangan ekonomi
kerakyatan yang menjadi issu panas pada saat itu. Untuk mengatasi kondisi ini
diperlukan pengembangan perangkat keuangan yang tentunya bukan memakai sistem
bunga, sebagai solusi dan salah satu pengobatan alternatif bagi perekonomian
Indonesia yang sedang sakit parah, yaitu mengembangkan sistem bagi hasil yang
merupakan trade mark perbankan syariah.
Keunggulan sistem bagi hasil yang
diterapkan perbankan syari’ah ini membawa dampak positif bagi
perkembangan ekonomi di Indonesia, karena selain memicu lahirnya
bank-bank baru dengan sistem syariah, juga banyak perbankan konvensional
yang membuka cabang syariah, bahkan beberapa bank konvensional melakukan
konversi total ke sistem syari’ah. Khusus di daerah Nanggroe Aceh
Darussalam seiring diberlakukannya Undang-undang NAD seluruh perbankan
yang ada di daerah itu, telah dikonversi dan beroperasi secara syariah.
Adapun alasan-alasan mengapa bank
konvensional membuka cabang syari’ah dan atau konversi total ke sistem syari’ah
adalah (Agustianto, 2002): “Pertama, Sistem bagi hasil terbukti
lebih kenyal dan tangguh dalam menghadapi goncangan krisis moneter; Kedua,
Secara sosiologis mayoritas penduduk Indonesia adalah muslim; Ketiga,
Secara teologis, implementasi sistem syari’ah merupakan realisasi komitmen
seorang mukmin kepada ajaran Islam; Keempat, Secara bisnis
pragmatis lebih menguntungkan, karena penduduk Indonesia mayoritas muslim”.
Wacana menyangkut peran perbankan
syari’ah dalam pemberdayaan ekononomi di Indonesia sudah ada semenjak lama,
namun mulai mengalami perkembangan pesat baru sekitar tahun sembilan puluhan,
yaitu pasca berdirinya Bank Muamalah Indonesia (BMI), yang kemudian
diikuti pula dengan berdirinya Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah (BPRS) di
banyak daerah. Semenjak itu keberadaan lembaga-lembaga ekonomi dan keuangan
yang sistem operasionalnya didasarkan kepada hukum syari'ah (Islam) menjadi trend
tersendiri dalam menjawab tantangan ekonomi kerakyatan. Bahkan juga telah dapat
mendorong lahirnya institusi-institusi non perbankan yang beroperasi dengan
sistim syariah, seperti lahirnya Asuransi yang berbasis syariah (seperti
Asuransi Takaful), Pegadaian syariah, Multi Level Marketing Syariah (seperti
PT. Ahad Net Internasional).
Bank Syari’ah ternyata lebih tahan
krisis dan tidak menyulitkan negara, sementara bank konvensional menjadi
parasit bagi perekonomian negara, hal ini terbukti dengan tidak selesainya
sampai sekarang ini persoalan suntikan dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia
(BLBI), Obligasi Rekap dan Program Penyehatan Perbakan, yang akhirnya
merugikan rakyat/negara Indonesia lebih dari Rp. 650 triliun. Bahkan
berdasarkan temuan Badan Pemeriksa Kuangan (BPK) ada dua konglomerat jahat
penerima Bantuan Likuiditas Bank Indonesia, yang menyebabkan kerugian negara
lebih dari Rp. 33 triliun dan Rp. 28 triliun. Angka-angka di atas tentunya
sangat fantastis bayangkan rakyat/negara harus memberikan subsidi kepada
konglomerat jahat tersebut melalui bunga obligasi rekap lebih Rp. 60
triliun per tahun, sampai dengan tahun 2030. Bayangkan andainya dana tersebut
dapat dipergunakan untuk kepentingan pendidikan, kesehatan dan membantu ekonomi
rakyat miskin, tentunya akan banyak sekali yang dapat menikmati manfaatnya.
Kuatnya daya tahan perbankan syari’ah
dalam mengahadapi guncangan krisis setidaknya memberi pelajaran berharga untuk
dijadikan sebagai acuan untuk melakukan pemberdayaan ekonomi masyarakat
menuju ekonomi yang lebih berkeadilan.
Konsep pemberdayaan ekonomi masyarakat
yang lebih berkeadilan akan lebih berkembang andainya didukung oleh sistem
perbankan yang berbasis bagi hasil (syariah), dan perbankan dengan sistem bagi
hasil akan dapat berkembang jika didukung oleh masyarakat Islam diseluruh
pelosok negeri ini.
Dukungan umat Islam di seluruh pelosok
negeri ini saat sekarang ini sudah mudah dilakukan, karena sekarang ini
perbankan syariah sudah tersebar di mana-mana, bahkan Bank Muamalat Indonesia
telah melakukan terobosan baru dengan mengeluarkan produk yang diberi nama shar-e.
Produk shar-e ini selain dapat diakses melalui Outlet Bank Muamalat
Indonesia dan juga melalui Kantor Pos Online (SOPP) di seluruh Indonesia.
Memang Indonesia merupakan negara
besar, baik dari segi teritorialnya (luas wilayahnya) maupun dari segi jumlah
penduduknya, dilihat dari sudut penduduknya juga memiliki keberagaman baik dari
sudut etnik, adat dan agamanya. Namun kalaupun beragam sistem
perbankan dengan bagi hasil sangat tepat ra perlu dukungan semua pihak untuk
menumbuh-kembangkan perbankan syariah, dan yang paling penting adalah perhatian
serius dari pihak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk segera
menyelesaikan tugasnya merampungkan Undang-Undang Perbankan syariah yang sudah
lama ditunggu-tunggu masyarakat.
Diundangkannya Undang-Undang Perbankan
Syariah diharapkan akan dapat menjadi payung hukum yang kuat untuk menjamin dan
mengayomi eksistensi perbankan syariah serta sekaligus sebagai landasan hukum
bagi operasionalisasi bagi perbankan syariah di Indonesia. Dengan adanya regulasi
yang sedemikian rupa akan dapat mendorong pertumbuhan dan perkembangan
perbankan syariah dan pada gilirannya diharapkan akan dapat memberikan
sumbangsih yang berarti bagi pengembangan perekonomian Indonesia kearah yang
lebih berkeadilan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar