Jumat, 25 Mei 2012

MUZARA’AH, MUSAQAH DAN MUGHARASAH


PEMBAHASAN
MUZARA’AH, MUSAQAH DAN MUGHARASAH
A.MUZARA’AH
1.      Pengertian Muzarah
Menurut bahasa,Al-Muz ar a’ah memiliki dua arti, yang pertama Al -Muzara’ah yang berarti Tharh Al-Zur’ah (melemparkan tanaman), maksudnya adalah modal (Al-Hadzar). Makna yang pertama adalah maknaMajaz dan makna yang kedua ialah makna  Hakiki1
Secara etimologi,Muzara’ah berarti kerja sama di bidang pertanian antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
Sedangkan menurut istilahFiqh ialah pemilik tanah memberi hak mengelola tanah kepada seorang petani dengan syarat bagi hasil atau semisalnya. Secara terminologi, terdapat beberapa definisi para ulama.
 Menurut ulama Malikiyah berarti perserikatan dalam akad/pertanian, ulama Hanabilah mengartikannya sebagai penyerahan tanah pertanian kepada seorang petani untuk digarap dan hasilnya dibagi berdua (paroan). Sedangkan Imam Syafi’i mendifinisikannya sebagai pengolahan tanah oleh petani dengan imbalan hasil pertanian, sedangkan bibit pertanian disediakan penggarap tanah atau lebih dikenal dengan istilahAl-Mukhabarah.
Muzara’ah berasal dari kata Az-Zar’u yang artinya ada dua cara, yaitu; menabur benih atau bibit dan menumbuhkan. Dari arti kata tersebut dapat dijelaskan, bahwa Muzara’ah adalah bentuk kerjasama dalam bidang pertanian antara pemilik lahan dengan petani penggarap. Dalam hal ini penggaraplah yang menanami lahan itu dengan biaya sendiri, tanaman dan lahan tersebut nanti dibagi antara kedua belah pihak sebagai pembayaran atau upah dari penggarapan tersebut.
2.      Dasar Hukum Muzara’ah
Muzara’ah adalah salah satu bentuk Ta’awun antar petani dan pemilik sawah. Seringkali ada orang yang ahli dalam masalah pertanian tetapi dia tidak punya lahan, dan sebaliknya banyak orang yang punya lahan tetapi tidak mampu menanaminya. Maka Islam mensyari’atkan Muzara’ah sebagai jalan tengah bagi keduanya.
Dasar hukum para ulama menetapkan hukum Muzara’ah adalah hadist yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas yang artinya
Sesungguhnya Nabi Saw. Menytakan, tidak mengharamkam bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supaya yang sebagian menyayangi yang lain, dengan katanya, barang siapa yang memiliki tanah , maka hendaklah ditanaminya atau diberikan faedah kepada saudaranya, jikia dia tidak mau, maka boleh saja ditahan tanah itu.
Menurut syafi’iyah, haram hukumnya melakukan muzara’ah. Ia beralasan berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Muslim dari Tsabit Ibn Al Dhahak, yang artinya .
Bahwa Rasullulah Saw. Telah melarang bermuzara’ah dan memerintah sewa menyewa saja dan Rasulullah Saw. Bersabada, itu tidak mengapa.
Menurut pengarang kitab Al-Minhaj, yaitu mengerjakan tanah (menggarap ladang atau sawah) dengan memgambil dari sebagian hasilnya sedangkan benihnya dari pekerja tidak dibolehkan termasuk bermuzara’ah karena mereka beralasan mengikat akibat buruk  sering tejadi ketika berbuah.
Demikianlah dasar hukum Muzara’ah dan Mukharabah ada  yang membolehkan dan ada pula yang mengharamkannya.
3.      Rukun dan Syarat Muzara’ah
Menurut jumhur ulama ada empat rukun dalam Muzara’ah:
ü  Pemilik tanah
ü  Petani/Penggarap
ü  ObyekAl- Muz ar a’ah (Mahalul ‘aqdi)
ü  Ijab dan Qabul, keduanya secara lisan, bagi ulamaHanabilah, qabul tidak harus   berupa lisan, namun dapat juga berupa tindakan langsung dari si penggarap.
Syrata syarat Muzara’ah
a         Syarat-Syarat yang berkaitan dengan orang yang berakad (pemilik dan petani).
ü Berakal;
ü Baligh. Sebagian ulamaHanafiyah mensyaratkan bahwa salah satu atau keduanya (penggarap dan pemilik) bukan orang murtad, karena tindakan orang murtad dianggapMauquf, tidak punya efek hukum hingga ia masuk Islam. tetapi jumhur ulama sepakat bahwa aqad Al-Muzara’ah ini boleh dilakukan antara Muslim dan non Muslim termasuk didalamnya orang murtad.
ü Adapun benih yang akan ditanam disyaratkan harus jelas, apa yang akan ditanam sehingga sesuai dengan kebiasaan tanah itu. Sedangkan syarat yang menyangkut tanah pertanian adalah:
ü Menurut adat di kalangan petani, tanah itu boleh digarap dan menghasilkan, jika tidak potensial untuk ditanami karena tandus dan kering, makaAl-Muzara’ah dianggap tidak sah;
ü Batas-batas tanah itu jelas;
ü Tanah itu diserahkan sepenuhnya kepada petani untuk digarap, apa bila pada waktu akad disyaratkan bahwa pemilik tanah ikut serta menggarap, maka akad Al-Muzara’ah ini dianggap tidak sah.
Syarat-syarat yang menyangkut dengan hasil panen adalah :
ü Pembagian hasil panen bagi masing-masing pihak harus jelas;
ü Hasil itu benar-benar milik bersama orang yang berakad, tanpa ada unsur dari luar
ü    Pembagian hasil panen itu ditentukan pada awal akad untuk menghindari perselisihannantinya.
ü    Disyaratkan juga dalam jangka waktu padaAl- Muzara’ah harus jelas, karena Al-Muzara’ah mengandung unsur Al-Ijarah (sewa menyewa) dengan imbalan sebagian hasil panen. Untuk penentuan jangka waktu ini biasanya disesuaikan dengan adat dan kebiasaan setempat.
ü    Obyek akad (Mahalul ‘aqdi), disyaratkan juga harus jelas, baik berupa pemanfaatan jasa penggarap di mana benih berasal dari penggarap atau pemanfaatan tanah dimana benih berasal dari pemilik tanah.
Abu Yusuf dan Muhammad bin al-Hasan as-Syaibani mengatakan bahwa bila ditinjau dari sudut sah tidaknya akadAl -Muzara’ah, maka ada empat bentukMuz ar aa’ah yaitu:
ü  Apabila tanah dan bibit dari pemilik tanah, sedangkan kerja dan alat dari petani, sehingga yang menjadi objek adalah jasa petani, maka akadAl-Muz ar aa’ah dianggap sah.
ü  Apabila pemilik tanah hanya menyediakan tanah, sedangkan petani menyediakan bibit, alat dan kerja, sehingga yang menjadi obyekAl-Muzaraa’ah adalah manfa’at tanah, maka akadAl -Muz ar aa’ah dianggap sah.
ü  Apabila tanah, alat dan bibit dari pemilik tanah dan kerja dari petani, sehingga yang menjadi obyekAl -Muz ar a’ah adalah jasa petani, maka akadAl -Muz ar a’ah juga sah.
ü  Apabila tanah dan alat disediakan pemilik tanah dan bibit, serta kerja dari petani,maka akad ini tidak sah. Karena menurut Abu Yusuf dan Muhammad al Hasan, menentukan alat pertanian dari pemilik tanah membuat akad ini jadi rusak, karena alat pertanian tidak boleh mengikut pada tanah. Karena manfaat alat pertanian itu tidak sejenis dengan manfaat tanah, karena tanah untuk menghasilkan tumbuhan, sedangkan manfaat alat adalah untuk hanya untuk menggarap tanah. Alat pertanian bagi mereka harus mengikuti petani penggarap bukan kepada pemilik tanah.
B.MUSAQOH
         1. Pengertian Musaqoh
                        Secara etimologi kalimat musaqah itu berasal dari kata al-saqa yang artinya seseorang bekerja pada pohon tamar, anggur (mengurusnya ) atau pohon-pohon yang lainnya supaya mendatangkan kemashlahatan dan mendapatkan bagian tertentu dari hasil yang di urus sebagai imbalan.
                        Secara terminologis al-musaqah didefinisikan oleh para ulama :
ü  Abdurahman al-Jaziri, al-musaqah ialah : “aqad untuk pemeliharaan pohon kurma, tanaman (pertanian ) dan yang lainya dengan syarat-syarat tertentu”.
ü  Malikiyah, bahwa al-musaqah ialah : “sesuatu yang tumbuh”. Menurut Malikiyah, tentang sesuatu yang tumbuh di tanah di bagi menjadi lima macam :
·         Pohon-pohon tersebut berakar kuat (tetap) dan pohon tersebut berbuah, buah itu di petik serta pohon tersebut tetap ada dengan waktu yang lama, seperti pohon anggur dan zaitun.
·         Pohon-pohon tersebut berakar tetap tetapi tidak berubah, seperti pohon kayu keras, karet dan jati.
·         Pohon-pohon yang tidak berakar kuat tetapi berbuah dan dapat di petik, seperti padi dan qatsha’ah, Pohon yang tidak berakar kuat dan tidak ada buahnya yang dapat di petik, tetapi memiliki kembang yang bermanfaat seperti bunga mawar.
·         Pohon-pohon yang diambil hijau dan basahnya sebagai suatu manfaat, bukan buahnya, seperti tanaman hias yang ditanam dihalaman rumah dan di tempat lainya.
ü  Syafi’iyah yang di maksud dengan al-musaqah ialah :“Memberikan pekerjaan orang yang memiliki pohon tamar dan anggur kepada orang lain untuk kesenangan keduanya dengan menyiram, memelihara dan menjaganya dan bagi pekerja memperoleh bagian tertentu dari buah yang di hasilkan pohon-pohon tersebut.
ü  Menurut Hanabilah bahwa al-musaqah itu mencakup dua masalah :
·         Pemilik menyerahkan tanah yang sudah ditanami, seperti pohon anggur, kurma dan yang lainnya, baginya ada buahnya yang dimakan sebagian .
·         tertentu dari buah pohon tersebut, sepertiganya atau setengahnya.Seseorang menyerahkan tanah dan pohon, pohon tersebut belum ditanamkan, maksudnya supaya pohon tersebut ditanamkan pada tanahnya, yang menanam akan memperoleh bagian tertentu dari buah pohon yang ditanamnya, yang kedua ini disebut dengan munashabah mugharasah, karena pemilik menyerahkan tanah dan pohon-pohon untuk ditanamkanya.
ü  Menurut Syaikh Shihab al-Din al-Qolyubi dan Syaikh Umairah, bahwa al- musaqah ialah : “Memperkerjakan manusia untuk menguruspohon dengan menyiram
dan memeliharanya dan hasil yang dirizkikan allah dari pohon untuk mereka berdua”.
ü  Menurut Hasbi ash-Shiddiqie yang di maksud dengan al-musaqah :
“ Syarikat pertanian untuk memperoleh hasil dari pepohonan”
Setelah diketahui semua definisi dari ahli fiqih, maka secara esensial al-musaqah itu adalah sebuah bentuk kerja sama pemilik kebun dengan penggarap dengan tujuan agar kebun itu dipelihara dan dirawat sehingga dapat memberikan hasil yang baik dan dari hasil itu akan di bagi menjadi dua sesuai denagn aqad yang telah disepakati.[1]
2. Dasar Hukum
Dalam menentukan hukum musaqah itu banyak perbedaan pendapat oleh para ulama Fiqh; Abu Hanifah dan Zufar ibn Huzail : bahwa akad al-musaqah itu dengan ketentuan petani, penggarap mendapatkan sebagian hasil kerjasama ini adalah tidak sah, karena al-musaqah seperti ini termasuk mengupah seseorang dengan imbalan sebagaian hasil yang akan di panen dari kebun. Dalam hal ini di tegaskan oleh hadist Nabi Saw yang artiya :
 siapa yang memiliki sebidang tanah, hendaklah ia jadikan sebagai tanah pertanian dan jangan diupahkan dengan imbalan sepertiga atau seperempat (dari hasil yang akan dipanen) dan jangan pula dengan imbalan sejumlah makanan tertentu. ( H.R. al-Bukhori dan Muslim ).
Dalam hadis  yang diriwayatkan oleh Imam Muslim v Dari Ibnu Amar Bahwa Rasululah SAW bersabda yang artinya:
“memberikan tanah Khaibar dengan bagian separoh dari penghasilan, baik buyah buahan maupun pertanian  (tanaman). Pada riwayat lain dinyatakan bahwa Rasullulah menyerahkan tanah di khaiber kepada Yahudi, untuk diolah dan modal dari hartanya, penghasilan separoh untuk nabi.
 Jumhur ulama fiqh mengatakan : bahwa akad al-musaqah itu dibolehkan. Ditegaskan dalam hadist Nabi Saw. yang artinya : ‘Bahwa Rasulullah Saw, melakukan kerjasama perkebunan dengan penduduk Khaibar dengan ketentuan bahwa mereka mendapatkan sebagian dari hasil kebun atau pertanian itu. ( H.R. Muttafaqun ‘alaih).
         3.Rukun Dan Syaran Musaqah
                        Rukun dan syarat  menurut ulama Syafi’iyah adalah
ü  Ucapan yang dilakukan kadang jelas (sharih) dan dengan samaran (kinayah), disyaratkan shigat itu dengan lafazd dan tidak cukup dengan perbuatan saja.
ü  Dua pihak atau orang yang berakad (al-‘aqidani), disyaratkan bagi orang orang yang berakad dengan ahli (mampu) untuk mengelola akad, seperti  baliq, berakal, dan tidak berada dibawah pengampuan.
ü  Kebun dan semua pohon yang berbuah , semua pohon yang berbuah boleh diparohkan (bagi hasil), baik yang berbuah tahunan (satu kali setahun) maupun yang nerbuah sekali lalu mati, seperti [adi, jagung dan yang lainnya.
ü  Masa kerja, hendaklah ditentukan lama waktu yang akan dikrjakan seperti setahun atau tekurang kurangnya menurut kebiasaan.
ü  Buah, hendaklah ditentukan bagian masing masing (yang mempunyai kebun dan yang bekerja dikebun), seperti seperdua, sepertiga, seperempat,atau ukuran yang lainnya.
Berakhirnya Akad Al-Musaqah Menurut para ulama fiqh berakhirnya akad al-musaqah itu apabila :
1) Tenggang waktu yang disepakati dalam akad telah habis;
2) Salah satu pihak meninggal dunia;
3) Ada udzur yang membuat salah satu pihak tidak boleh melanjutkan akad.

C.MUGHAARASAH
         1. Pengertian Mughaarasah
                    Mughaarasah menurut masyarakat syam (suriah) dinamakan munasaabah yang artinya paroan. Karena lahan yang telah diolah menjadi milik mereka secara bersama sama dan masing masing pihak mendapatkan bagian separo (paroan).
Mughaarasah adalah perjanjian yang dilakukan antara pemilik tanah garapan untuk mengolah dan menanami lahan garapan yanbg belum ditanami  (tanah kosong) dengan ketentuan mereka secara bersama sama memiliki hasil dari tanah tersebut sesuai dengan kesepakatan yang dibuat bersama.[2]
ü  Ulama fiqih mendefinisikan Mughaarasah adalah penyerahan pemilik lahan pertanian kepada petani untuk ditanami pepohonan.
ü  Ulama Syafi’iyah mendefinisikan Mughaarasah adalah penyerahan pemilik lahan kepada petani yang ahlidan pohon yang ditanami menjadi milk berdua(pemiliok tanah dan petani).
         2. dasar hukum Mughaarasah
   Menurut jumhur Ulama (Maliki, Syafi’I, Hambali) berpendapat tidak boleh, tetapi mahzab maliki mengatakan boleh dengan beberapa persyaratan.
   Imam Abu Hanifah berpendapat, bahawa pemilik tanah menyerahkan tanah garapan kepada seseorang untuk digarap dalam masa beberapa tahu, dengan kektentuan baik tanah maupun tanamannya mereka bagi dengan kesepakatan bersamakarena perjanjian itu tidak sah.
Imam Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan asy-Syaibani(murid Abu Hanifah) membolehkan bentuk mughaarasah, mereka mengiasakan (menganalogikakan) dengan perjanjian yang dilakuakan Rasulullah dengan tanah rampasan perang di Khaibar.
Imam Malik membolehkan Mughaarasah apabila terpenuhi beberapa syarat yaitu:
ü  Tanaman yang akan ditanam adalah tanaman yang halal pohonnya(tanaman keras) dengan menghasilakan buah(mamfaat) yang dipetik dan bukan tanaman palawija.
ü  Tananaman yang akan ditanam tidak jauh bebeda masa antara satu junis dengan tanaman yang lain. Apabila tanaman yang ditanam jauh masa berbuahnya berbeda dengan jenis jenis yang lainnya, maka tidak boleh dilakukan perjanjian mughaarasah.
ü  Penentuan masa mughaarasah itu jangan terlalu lama, jikia disyaratkan masa perjanjian sampai tanaman berbuah, maka perjanjian itu tidak dapat dibenarkan.
ü  Penggarap mempunyai bagian tertentudsari garapannya,berupa tanah dan tanamannya.
ü  Perjanjiaan mughaarasah tersebut tidak terkait dengan hal yang dipersengketakan karena ada kemunbgkinan akan merugikan pihak penggarap. Karena ada kem ungkinan tanah itu berpindah kepada pihak ketiga.
Selanjutnya imam malik mengatakan perjanjian mugharasah akan batal apabila.
ü  Dalam perjanjian itu dikekmukankan, bahwa salah satu pihak tidak mendapatkan bagian atau bagiannya sedikit sekali baik untuk penggarap maupun untuk pemilik lahan.
ü  Perjanjian itu dilakukan dengan cara tangguh (ada tenggang waktu), tidak lansung berlaku setelah perjanjian itu dibuat.[3]
   Menuruh Wahbah az-Zuhaili,penggarap tanah kosong adalah sah, bila penggarap mendapatkan bagian tertentu dari seluruh tanah yang digarap dan hasilnya.














v Suhendi, Hendi. Fiqih Muamalah, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005



v Syafe'i, Rahmat. Fiqih Muamalah, Pustaka Setia, Bandung, 2001



v Rasjid, Suliman. Fiqih Islam, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 1994

 Sabiq, Sayyid. 2007. Fiqih Sunnah, terj. Nor Hasanuddin, Lc. MA., dkk. Jakarta: Pena Pundi Aksara





[1]. Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, (Jakarta: PT. Jasa Grafindo,2002) h.147
[2]. M. ALI HASAN, Berbgai macam Transaksi dalam Islam (fiqih muamalah),(jakarta:PT. Raja Grafindo Persada,2004) hal 284.
[3].Ibid.,h 287

Tidak ada komentar:

Posting Komentar