Jumat, 18 Mei 2012

HISAB DAN RU’YAH


HISAB DAN RU’YAH
A.    Hisab ( حساب ) = Perhitungan
Dalam konteks bulan/tahun/kalender Hijriyah yang dimaksud dengan hisab adalah suatu metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir bulan Qamariyah) kalender Hijriyah, entah secara perhitungan matematis maupun perhitungan secara ilmu falak/astronomi. Perhitungan dalam penentuan Hilal atau dalam pembuatan kalender Hijriyah dikenal juga dengan
istilah hisab taqwim.
Walaupun ru'yah merupakan cara asli dalam menentukan awal/akhir bulan Qamariyah, seiring dengan perkembangan zaman dan kemajuan pengetahuan, para ulama yang memahami ilmu falak dan para ahli falak dapat menentukan awal/akhir bulan Qamariyah dengan ilmu hisab secara matematis dan atau dengan ilmu falak/astronomi, yaitu dengan memperhitungkan gerak Bulan mengitari Bumi, bahkan saat ini sudah didukung dengan alat-alat astronomi dengan teknologi yang canggih, sehingga pada akhirnya metode hisab menjadi termasuk cara atau metode dalam menentukan Hilal / awal akhir bulan Qamariyah dan juga kalender Hijriyah.
Dalil diperbolehkannya hisab dipakai dalam menentukan awal/akhir bulan adalah :
1. Menentukan awal bulan Qamariyah (secara umum : semua bulan Qamariyah) pada
dasarnya termasuk dalam permasalahan dunia. Kaidah dalam permasalahan dunia adalah segala sesuatu adalah boleh kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Apalagi dengan ilmu hisab ini dapat membantu umat Muslim di seluruh dunia, baik dalam permasalahan dunia bahkan juga dalam beberapa permasalahan agama (seperti waktu shalat dan hisab awal Ramadhan/Syawwal/Dzulhijjah).
2. Terdapat beberapa Al-Qur'an yang mengisyaratkan memerintah umat Muslim untuk  mempelajari ilmu hisab, antara lain adalah :






* štRqè=t«ó¡o Ç`tã Ï'©#ÏdF{$# ( ö@è% }Ïd àMÏ%ºuqtB Ĩ$¨Y=Ï9 Ædkysø9$#ur 3 }§øŠs9ur ŽÉ9ø9$# br'Î/ (#qè?ù's? šVqãŠç6ø9$# `ÏB $ydÍqßgàß £`Å3»s9ur §ŽÉ9ø9$# Ç`tB 4s+¨?$# 3 (#qè?ù&ur šVqãç7ø9$# ô`ÏB $ygÎ/ºuqö/r& 4 (#qà)¨?$#ur ©!$# öNà6¯=yès9 šcqßsÎ=øÿè? ÇÊÑÒÈ
Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Al-Baqarah (2): 189



uqèd Ï%©!$# Ÿ@yèy_ š[ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# šÏ9ºsŒ žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_ÁxÿムÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôètƒ ÇÎÈ
Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang Mengetahui.Yunus (10) : 5
$uZù=yèy_ur Ÿ@ø©9$# u$pk¨]9$#ur Èû÷ütGtƒ#uä ( !$tRöqysyJsù sptƒ#uä È@ø©9$# !$uZù=yèy_ur sptƒ#uä Í$pk¨]9$# ZouŽÅÇö7ãB (#qäótGö;tGÏj9 WxôÒsù `ÏiB óOä3În/§ (#qßJn=÷ètGÏ9ur yŠytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Ïtø:$#ur 4 ¨@à2ur &äóÓx« çm»oYù=¢Ásù WxŠÅÁøÿs? ÇÊËÈ
Dan kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu Telah kami terangkan dengan jelas. [ Al-Israa' (17) :12

ß,Ï9$sù Çy$t6ô¹M}$# Ÿ@yèy_ur Ÿ@øŠ©9$# $YZs3y }§ôJ¤±9$#ur tyJs)ø9$#ur $ZR$t7ó¡ãm 4 y7Ï9ºsŒ ㍃Ïø)s? ̓Íyèø9$# ÉOŠÎ=yèø9$#

Dia menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. [Al-An'am (6) : 96

3. Dalil dari hadits. Hadits yang digunakan sebagai dalil ru'yah oleh pengguna ru'yah juga dipakai sebagai dalil oleh pengguna hisab, hanya saja yang dipakai adalah versi sanad yang lain dengan matan yang agak berbeda dari dalil yang digunakan sebagai dalil ru'yah.
Dalilnya adalah :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Rasulullah bersabda, “Jika kalian melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal (Syawwal), maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian menghitungnya!” <<Bukhari [nomor : 1900], Muslim [nomor : 1797 (MSV2)] dari Ibnu Umar. Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari, dan masih ada beberapa sanad lain di kedua kitab tersebut yang matannya menyebutkan “faqdiruulahu”>>.
4. Beberapa ulama menyatakan bolehnya memakai hisab antara lain : Ibnu Qutaibah, Abul
Abbas Ahmad bin Amr bin Suraij asy-Syafi'i, Ibnu Hazm, Ibnu Daqiq al-'Iid, Taqiyuddin al- Subki, Muhammad Rasyid Ridha, Asy-Syarwani, Asy-Syarqawi, Al-`Abbadi, Al-Qalyubi, Ar- Ramli, Ahmad Muhammad Syakir, Syaraf al-Qudah, Yusuf Al-Qaradhawi, Musthafa Ahmad Az-Zarqa, dan lain-lain. Ulama-ulama Indonesia juga cukup banyak yang menyatakan bolehnya menggunakan hisab, beberapa di antara mereka adalah Ahmad Dahlan dan A. Hassan9 rahimahumallah dsb).
Penentuan Hilal dengan hisab dapat dilakukan dengan metode matematis maupun astronomis, mulai dari metode yang sederhana hingga yang rumit. Berikut ini adalah dua sistem hisab utama dalam penentuan Hilal/kalender Hijriyah :
1. Hisab `Urf : Hisab berdasarkan kebiasaan.
Dalam konteks kalender Hijriyah, pengertiannya adalah metode perhitungan bulan
Qamariyah dengan cara yang masih sederhana, yaitu membagi jumlah hari dalam satu tahun ke dalam bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut. Sedangkan pengertiannya menurut ilmu falak adalah metode perhitungan yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi (rata-rata jumlah hari dalam satu bulan dan juga dalam satu tahun).
 Pematokan jumlah hari/usia bulan-bulan Qamariyah dalam hisab `urf misalnya : pasti 30hari untuk bulan ganjil, dan pasti 29 hari untuk bulan genap (selang seling) dengan pengecualian bulan terakhir (bulan ke-12) pada tahun kabisat. Dalam tahunan, jumlah hari dalam satu tahun basitat adalah 354 hari, sedangkan dalam satu tahun kabisat jumlah harinya adalah 355.
2. Hisab Haqiqi : Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya.
Tidak seperti hisab `urf, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29 atau 30 hari secara berurutan. Hisab yang menggunakan pendekatan matematis dan astronomis modern hingga hisab yang menggunakan software rumus-rumus algoritma termasuk dalam hisab haqiqi. Pada zaman ini, hisab hakiki-lah hisab yang banyak dipakai dan diterima oleh kaum Muslimin, tidak hanya hisab Hilal tetapi juga hisab lainnya seperti hisab jadwal shalat 5 waktu.
Berikut ini beberapa metode atau perbedaan pendapat tentang kriteria yang tepat untuk pergantian bulan Qamariyah dalam ilmu hisab astronomi/falak hakiki :
1. Ijtima ( إجتماع ) = Pertemuan (Konjungsi astronomis)
Yaitu bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur eliptik yang sama/ segarisnya bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase bulan : ijtima` adalah bulan baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut demikian karena pada saat ijtima` bulan lalu telah berakhir dan bulan baru telah muncul/dimulai.
Metode hisab yang menggunakan ijtima` sebagai kriteria utama. Jika terjadi ijtima` pada hari terakhir bulan Qamariyah, maka keesokan harinya adalah awal bulan baru (tanggal 1).
Metode ini terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya adalah :
a) Ijtima` qabla ghurub : : Ijtima` sebelum maghrib/matahari terbenam.
Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari sebelum maghrib/matahari terbenam, maka hari berikutnya telah bulan baru.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Jum`at 1 menit sebelum maghrib di Makkah, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan dipadukan kriteria “bulan terbenam setelah matahari terbenam”10, paduan kriteria ini dipakai oleh Arab Saudi (kalender Ummul Qura' saat ini) dalam penentuan Hilal bulan-bulan Qamariyah selain bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan 10 Kriteria “bulan terbenam setelah matahari terbenam” dikenal juga dengan nama metode hisab wujudul Hilal.
b) Ijtima` qabla fajar : Ijtima` sebelum fajar/matahari terbit.
Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatuhari sebelum fajar berikut, maka hari berikutnya itu telah bulan baru.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Sabtu jam 02.06 am (sebelum fajar), maka hari Jum'at dan malam Jum`at yang telah berlalu adalah hari terakhir bulan Qamariyah sedangkan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jadi, metode ini tidak menerapkan awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib, tapi menerapkan awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat fajar11. Metode ini mungkin tidak begitu dikenal di Indonesia, tetapi metode ini ada dan dipakai di beberapa negeri lain, contohnya adalah Libya.
c) Ijtima` sebelum jam 12 waktu Universal (UTC/GMT)
Metode hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari sebelum jam 12 waktu Universal (0.00 – 12.00 GMT), maka maghrib hari itu adalah malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia. Jika terjadi setelah jam 12 waktu Universal (12.00 – 23.59 GMT), maka maghrib hari berikutnya adalah malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia.
Contoh kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Kamis 11 September pada jam 11 GMT, maka malam Jum`at dan hari Jum`at 12 Setember adalah awal bulan baru (tanggal 1) Qamariyah berlaku untuk seluruh dunia. Ini adalah metode hisab yang diusulkan sebagai kelender Islam global oleh Khalid Asy- Syaukat (ISNA versi 2, USA), diikuti pula oleh Fiqh Council of North America (FCNA),yang terinspirasi dari metode hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq (Moroko) sebagai kalender Qamariah Islam Unifikasi (at-Taqwim al-Qamari al-Islami al- Muwahhhad).
Metode hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq adalah : Jika J >= 00.00 WU & J<12.00 WU, maka tanggal 1 bulan baru = H+1. Jika J >=12.00 WU & J<24.00, maka tanggal 1 bulan baru=H+2. J=Jam Ijtima`, H=Hari. Metode ini memang sangat mirip dengan metode yang diusulkan Khalid Asy-Syaukat, yang membuat berbeda adalah
2. Wujudul Hilal
Metode hisab yang menggunakan wujudul Hilal sebagai kriteria utama, yang Hilal dikatakan wujud (ada) jika bulan terbenam setelah matahari terbenam. Metode ini menganggap jika bulan terbenam setelah matahari terbenam pada suatu hari terakhir bulan Qamariyah, maka maghrib hari itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika pada hari itu matahari terbenam setelah bulan terbenam, maka Hilal belum wujud, sehingga maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30). Pada saat bulan terbenam setelah matahari terbenam, Hilal telah berada tepat di ufuk atau di atas ufuk (dalam kalimat lain : irtifa`nya adalah 0 derajat atau lebih), oleh karena itu metode hisab wujudul Hilal dapat diartikan dengan kriteria Hilal di atas ufuk. Walaupun begitu, metode hisab ini tidak menetapkan kriteria irtifa` minimal dan tidak mempertimbangkan kemungkinan Hilal untuk diru'yah sebagaimana metode hisab imkanur ru'yah yang akan dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
Contoh kasus : Pada sore hari Jum`at 29 Sya`ban, bulan terbenam satu menit setelah matahari terbenam, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1 Ramadhan).
Dalam prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan dipadukan dengan metode ijtima` qabla ghurub, perpaduan ini penting karena dalam faktanya terkadang Hilal telah wujud tapi belum terjadi ijtima`.
3. Imkanur Ru'yah (Kemungkinan Hilal dapat dilihat / visibilitas Hilal)
Metode hisab ini menggunakan suatu kriteria yang mempertimbangkan kemungkinan untuk ru'yah Hilal. Kriteria itu dapat berupa irtifa`, sudut elongasi14, umur Hilal, lebar Hilal, dan sebagainya. Metode ini menganggap bahwa jika posisi Hilal sudah memenuhi syarat suatu kriteria imkanur ru'yah yang dipakai (sebagai contoh : irtifa`), maka dalam kondisi normal (cuaca cerah, tidak hujan, dan sejenisnya) Hilal sudah dapat dipastikan dapat terlihat meskipun pada kenyataannya belum tentu dapat benar-benar terlihat, maghrib hari itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika belum memenuhi syarat kriteria imkanur ru'yah (sebagai contoh : irtifa`), maka maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30).
Catatan penting : Walaupun dalam namanya terdapat kata ru'yah, “imkanur ru'yah” bukanlah suatu metode atau bagian dari ru'yah itu sendiri melainkan berupa suatu metode atau kriteria hisab Hilal astronomi sebagaimana metode hisab Hilal astronomi lainnya. Imkanur ru'yah yang digunakan oleh sebagian kaum Muslimin terdiri dari beberapa kriteria yang berbeda, di antaranya adalah :
a) Imkanur Ru'yah dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini dipilih/dapat   diterima oleh NU (NU menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai pemerintah Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan tambahan kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat. Kriteria ini juga masih dipakai saat ini oleh PERSIS15.
b) Imkanur Ru'yah dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender Islam di Turki pada tahun 1978.
c) Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.\
d) Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah kriteria
irtifa` minimal 4 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Bandung. Kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria yang lebih dahulu diusulkan Odeh / Muhammad Syaukat Audah16.
e) Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal minimal 12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg dari Prancis, pada tahun 1936. Kriteria ini dikenal pula dengan istilah “Limit Danjon”. Kriteria ini juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991.
f) Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S. Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi.


B.  Ru'yah ( رؤْية ) = Penglihatan
Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal yang dimaksud denganru'yah adalah ru'yah Hilal yaitu melihat Hilal dengan cara melihatnya dengan mata  langsung atau melalui alat bantu (kamera, teropong, teleskop, binokuler, theodolite, dan alat-alat lainnya) Ru'yah dapat pula ditransliterasikan dengan kata “ru'yat”. Dan kegiatan melihat Hilal ini dikenal juga dengan istilah ru'yah Hilal bil fi`li.
Ru'yah Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah maghrib) suatu bulan Qamariyah. Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru'yah Hilal, maka bulan Qamariyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari. Pada zaman Rasulullah, orang-orang (para shahabat) berusaha bersama-sama untuk melihat Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar Radiyallahu Anhuma ketika dia dan para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk melihat Hilal Ramadhan :
تَرَاءَى النّاسُ الْهِلَلَ فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ الِّ صَلّى الُّ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ وَأَمَرَ النّاسَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Umar berkata, “Orang-orang berusaha melihat Hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum karena hal itu, dan beliau memerintahkan orang-orang untuk shaum.” <<< Hadits Riwayat Abu Dawud nomor : 1995 (MSV2) >>>.
Berdasarkan atsar tersebut, umat Islam dapat lebih memperhatikan tentang ru'yah Hilal ini sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha melihat Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Dengan begitu, umat Islam akan semakin banyak yang mengetahui dan memahami tentang ru'yah Hilal, bagaimana bentuk Hilal dalam praktek, susah atau mudahnya dalam melihat Hilal, dan sebagainya. Walaupun pada zaman sekarang ini perkembangan hisab, terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para shahabat dalam berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ru'yah murni maupun dipraktekkan oleh pengguna ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah tergantung/ terpandu dengan hisab).
Dari sisi penerapan ru'yah Hilal, ru'yah dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Ru'yah murni
Orang yang memakai ru'yah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat Hilal. Jika suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ru'yah murni sedangkan menurut pengguna hisab astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka pengguna ru'yah murni akan tetap menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara alasan mereka adalah : ru'yah Hilal adalah sunnah, ru'yah Hilal adalah ibadah, bahkan ada sebagian dari mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.
2. Ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah tergantung/terpandu dengan hisab).
Orang yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ru'yah Hilal adalah cara terbaik dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap memakai hisab sebagai alat bantu/panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam penentuan Hilal dibuktikan kebenarannya dengan ru'yah Hilal dalam praktek. Hasil ru'yah dalam praktek dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika dalam praktek ru'yah Hilal suatu bulan Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak mungkin Hilal (Hilal tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai, maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapatditolak dan tidak dipakai.
Dalam praktek ru'yah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat, tergantung dariBbeberapa faktor, yaitu :
1. Tingkat pengamatan (baik atau buruk) orang yang melihat Hilal Ini adalah faktor dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang  bagus, tingkat pengamatan yang baik serta pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor psikologis pengamat akan menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang digunakan dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.
2. Ukuran dan cahaya Hilal Ini adalah faktor dari sisi Hilal. Semakin besar maka akan semakin mungkin Hilal dapat terlihat. Faktor ini juga berkaitan erat dengan faktor berikutnya.
3. Cuaca Ini adalah faktor dari sisi alam. Cuaca, transparansi udara mempengaruhi terlihat atau tidaknya Hilal. Cuaca yang tidak mendung atau hujan, tingkat penyerapan cahaya Hilal oleh atmosfir, tingkat penyebaran cahaya di dalam atmosfir, transparansi udara yang bersih akan menjadi beberapa faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat.
4. Lokasi / Geografis Suatu lokasi pengamatan yang sedang turun hujan, pada lokasi pengamatan yang lain belum tentu turun hujan. Faktor keberhasilan melihat Hilal di lokasi yang lapang dan tidak ada gangguan cahaya (dari benda alami maupun buatan) jelas jauh lebih tinggi daripada di lokasi di tengah kota yang penuh bangunan tinggi dan siraman cahaya lampu.
Empat faktor tersebut sangat berperan bagi orang yang ingin melihat Hilal, entah orang itu menggunakan ru'yah murni maupun ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah tergantung/terpandu dengan hisab). Hanya saja bagi orang yang menggunakan ru'yah dengan memakai bantuan hisab masih terdapat satu faktor utama lagi, yaitu :
5. Faktor Astronomi Hilal harus mungkin terlihat secara astronomi, misalnya posisi Hilal minimal harus mencapai ketinggian beberapa derajat, lebar Hilal, umur bulan minimal beberapa jam, dan sebagainya.
Jika Hilal dapat terlihat dalam suatu ru'yah, maka hasil ru'yah tersebut dilaporkan kepada pemimpin kaum Muslimin. Hasil ru'yah tersebut dilaporkan dengan suatu kesaksian (disertai dengan sumpah) dari saksi (orang yang telah melihat Hilal). Syarat utama suatu kesaksian dapat diterima adalah :
1. Muslim yang adil, dan
2. kesaksiannya yang menyatakan bahwa dia telah melihat Hilal. Jika kesaksian tersebut diterima, maka pemimpin mengumumkan bahwa pada saat itu (malam ketika Hilal telah terlihat) sudah memasuki bulan baru Qamariyah, jika pada bulan Ramadhan maka pengumuman dapat disertai perintah shaum, jika pada bulan Syawwal dapat disertai perintah berbuka.
Menurut fuqaha (para ahli fiqh), kesaksian melihat Hilal terdapat batas minimumnya :
1.      Hilal bulan Ramadhan : 
Kesaksian satu orang laki-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Imam Asy-Syafi`i, dan Ahmad.
2. Hilal bulan Syawwal :
a) Kesaksian minimal dua orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat umumnya fuqaha.
b) Kesaksian satu orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima.
Ini adalah pendapat Abu Tsaur, dan madzhab Zhahiri, dan ini adalah pendapat yang dirajihkan (dianggap pendapat yang paling benar) oleh Asy-Syaukani. Hadits Ibnu Umar yang sudah disebutkan sebelumnya dapat menjadi dalil tentang ke-rajih-an pendapat ini.
Dalam prakteknya, terkadang sumpah kesaksian lebih kuat daripada hasil hisab Hilal (misal : banyak atau sebagian ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin dapat dilihat pada hari K), dan terkadang kesaksian ditolak bila bertentangan dengan hasil hisab Hilal (misal : bila sangatbanyak atau semua ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak  mungkin dapat dilihat pada hari L). Hal tersebut tergantung dari penerapan metode dan kriteria ru'yah atau hisab yang dipakai.
Penentuan Hilal melalui ru'yah memiliki beberapa perbedaan pendapat dari sisi penerapanmathla`, yaitu :
1. Satu ru'yah untuk semua negeri (ru'yah global)
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat Hilal pada suatu waktu (misal : malam Jum`at untuk penentuan bulan Ramadhan 2000 H), negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru'yah Arab Saudi (yakni pada saat itu di setiap negara malam Jum`at dan hari Jum`at adalah tanggal 1 Ramadhan 2000 H).
Pendapat satu ru'yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah :
.ذهب الجمهور: إلى أنه ل عبرة باختلف المطالع
فمتى رأى الهلل أهل بلد، وجب الصوم على جميع البلد لقول الرسول صلى ال عليه وسلم "
." صوموا لرؤيته، وافطروا لرؤيته
.وهو خطاب عام لجميع المة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا
Jumhur berpendapat : Tidak ada perbedaan mathla`, maka penduduk negeri apa saja yang telah melihat Hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal)”. Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa di antara mereka yang telah melihat Hilal di tempat mana saja, maka itu adalah ru'yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1 halaman 436 (MSV2)).
2. Satu ru'yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan.
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Sedangkan negeri yang berjauhan tidak wajib mengikuti Hilal negeri tersebut. Bagaimana cara menentukan suatu negeri dengan negeri lain itu dekat atau jauh? Ulama yang berpendapat dengan pendapat mathla` ini berbeda pendapat dalam menentukan dekat atau jauhnya suatu negeri, ada yang berpendapat berdasarkan jarak (jarak qashar shalat atau jarak perjalanan), perbedaan iklim, perbedaan wilayah, dan lain-lain.
Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat Hilal, negara-negara tetangga Indonesia (Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand, dsj) yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru'yah Indonesia. Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah.
3. Setiap negeri memiliki ru'yah masing-masing (ru'yah lokal).
Maksudnya : Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya dan terbukti maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak melihat Hilal di negerinya sendiri.
Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat Hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal tidak harus mengikuti hasil ru'yah Arab Saudi, melainkan mengandalkan hasil ru'yah di negerinya sendiri. Pendapat ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim, Ishaq rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama Syafi'iyyah.
Ketiga pendapat dalam masalah ru'yah Hilal tersebut memiliki dalil/argumen yang sama (dengan pemahaman yang berbeda), yaitu suatu hadits riwayat Bukhari dan Muslim :
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدّةَ شَعْبَانَ ثَلَثِينَ
Rasulullah bersabda, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal). Jika (Hilal) tertutup atas kalian, maka sempurnakanlah jumlah Sya'ban menjadi 30 hari.” <<Bukhari [nomor : 1909], Muslim [nomor : 1809 (MSV2)] dari Abu Hurairah. Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari>>

Sedangkan pendapat setiap negeri memiliki ru'yah masing-masing memiliki tambahan dalil dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :
أَنّ أُمّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشّامَ فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلّ عَلَيّ
رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشّامِ فَرَأَيْتُ الْهِلَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشّهْرِ فَسَأَلَنِي عَبْدُ الِّ بْنُ
عَبّاسٍ رَضِيَ الُّ عَنْهُمَا ثُمّ ذَكَرَ الْهِلَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ
فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ النّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السّبْتِ فَلَ نَزَالُ نَصُومُ حَتّى نُكْمِلَ
ثَلَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ أَوَ لَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَ هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ
Kuraib berkata : ---Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits pernah mengutus Kuraib pergi ke Mu`awiyah di Syam.---Aku tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan diumumkan ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jum'at. Lalu aku tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu dia menyebut Hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan kalian melihat Hilal?” Aku menjawab, “Kami melihat Hilal pada malam Jum'at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu melihat Hilal?” Aku menjawab, “Ya, dan orangorang melihat Hilal, lalu mereka shaum, dan Mu'awiyah juga shaum.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti shaum hingga kami menyempurnakan 30 hari atau kami melihat Hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru'yah Mu'awiyah dan shaumnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah Rasulullah telah memerintahkan kami.” << Hadits Riwayat Abu Dawud [nomor : 1985 (MSV2)], Muslim [nomor : 1819 (MSV2)], dan At-Tirmidzi. Tirmidizi berkata : Hasan, Shahih, Gharib >>

Pendapat yang Ideal Tentang ru'yah
Dalam masalah ru'yah, kaum Muslimin saling berbeda pendapat tentang pendapat manakah yang paling kuat dalam penentuan ru'yah, apakah pendapat pertama (satu ru'yah untuk semua negeri), pendapat kedua (satu ru'yah untuk satu negeri dan negeri yang berdekatan), atau pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru'yah masing-masing)? Menurut penulis, pendapat yang paling kuat / mendekati kebenaran adalah pendapat yang pertama, Insya Allah, pendapat yang paling ideal, dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini memiliki beberapa alasan antara lain :
1. Kata “kalian” pada hadits ru'yah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada yang melihat Hilal, jujur, terpercaya dan terbukti tanpa memandang perbedaan mathla` (tempat munculnya Hilal), maka persaksian itu harus diterima.
2. Umat Islam itu satu, karena itu perlu penyeragaman dalam penentuan Hilal bulan
Qamariyah. Sebagian kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru'yah masingmasing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu ru'yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka hadits umum tentang ru'yah itu bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar