HISAB
DAN RU’YAH
A.
Hisab ( حساب ) = Perhitungan
Dalam
konteks bulan/tahun/kalender Hijriyah yang dimaksud dengan hisab adalah suatu
metode perhitungan untuk menentukan tanggalan (termasuk awal dan akhir bulan
Qamariyah) kalender Hijriyah, entah secara perhitungan matematis maupun
perhitungan secara ilmu falak/astronomi. Perhitungan dalam penentuan Hilal atau
dalam pembuatan kalender Hijriyah dikenal juga dengan
istilah hisab taqwim.
Walaupun
ru'yah merupakan cara asli dalam menentukan awal/akhir bulan Qamariyah, seiring
dengan perkembangan zaman dan kemajuan pengetahuan, para ulama yang memahami
ilmu falak dan para ahli falak dapat menentukan awal/akhir bulan Qamariyah
dengan ilmu hisab secara matematis dan atau dengan ilmu falak/astronomi, yaitu
dengan memperhitungkan gerak Bulan mengitari Bumi, bahkan saat ini sudah
didukung dengan alat-alat astronomi dengan teknologi yang canggih, sehingga
pada akhirnya metode hisab menjadi termasuk cara atau metode dalam menentukan
Hilal / awal akhir bulan Qamariyah dan juga kalender Hijriyah.
Dalil
diperbolehkannya hisab dipakai dalam menentukan awal/akhir bulan adalah :
1. Menentukan awal bulan Qamariyah (secara umum :
semua bulan Qamariyah) pada
dasarnya termasuk dalam
permasalahan dunia. Kaidah dalam permasalahan dunia adalah segala sesuatu
adalah boleh kecuali jika ada dalil yang melarangnya. Apalagi dengan ilmu hisab
ini dapat membantu umat Muslim di seluruh dunia, baik dalam permasalahan dunia
bahkan juga dalam beberapa permasalahan agama (seperti waktu shalat dan hisab
awal Ramadhan/Syawwal/Dzulhijjah).
2.
Terdapat beberapa Al-Qur'an yang mengisyaratkan memerintah umat Muslim untuk mempelajari ilmu hisab, antara lain adalah :
*
tRqè=t«ó¡o
Ç`tã
Ï'©#ÏdF{$#
( ö@è%
}Ïd
àMÏ%ºuqtB
Ĩ$¨Y=Ï9
Ædkysø9$#ur
3 }§øs9ur
É9ø9$#
br'Î/
(#qè?ù's?
Vqãç6ø9$#
`ÏB
$ydÍqßgàß
£`Å3»s9ur
§É9ø9$#
Ç`tB
4s+¨?$#
3 (#qè?ù&ur
Vqãç7ø9$#
ô`ÏB
$ygÎ/ºuqö/r&
4 (#qà)¨?$#ur
©!$#
öNà6¯=yès9
cqßsÎ=øÿè?
ÇÊÑÒÈ
Mereka
bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: "Bulan sabit itu adalah
tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan
memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah
kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari
pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. Al-Baqarah (2): 189
uqèd Ï%©!$# @yèy_ [ôJ¤±9$# [ä!$uÅÊ tyJs)ø9$#ur #YqçR ¼çnu£s%ur tAÎ$oYtB (#qßJn=÷ètFÏ9 yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Åsø9$#ur 4 $tB t,n=y{ ª!$# Ï9ºs wÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ã@Å_Áxÿã ÏM»tFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqßJn=ôèt ÇÎÈ
Dia-lah yang
menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya
manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui
bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian
itu melainkan dengan hak[669]. dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya)
kepada orang-orang yang Mengetahui.Yunus (10) : 5
$uZù=yèy_ur @ø©9$# u$pk¨]9$#ur Èû÷ütGt#uä ( !$tRöqysyJsù spt#uä È@ø©9$# !$uZù=yèy_ur spt#uä Í$pk¨]9$# ZouÅÇö7ãB (#qäótGö;tGÏj9 WxôÒsù `ÏiB óOä3În/§ (#qßJn=÷ètGÏ9ur yytã tûüÏZÅb¡9$# z>$|¡Ïtø:$#ur 4 ¨@à2ur &äóÓx« çm»oYù=¢Ásù WxÅÁøÿs? ÇÊËÈ
Dan kami jadikan
malam dan siang sebagai dua tanda, lalu kami hapuskan tanda malam dan kami
jadikan tanda siang itu terang, agar kamu mencari kurnia dari Tuhanmu, dan
supaya kamu mengetahui bilangan tahun-tahun dan perhitungan. dan segala sesuatu
Telah kami terangkan dengan jelas. [ Al-Israa' (17) :12
ß,Ï9$sù Çy$t6ô¹M}$#
@yèy_ur @ø©9$# $YZs3y
}§ôJ¤±9$#ur
tyJs)ø9$#ur $ZR$t7ó¡ãm 4 y7Ï9ºs
ãÏø)s?
ÍÍyèø9$#
ÉOÎ=yèø9$#
Dia
menyingsingkan pagi dan menjadikan malam untuk beristirahat, dan (menjadikan) matahari
dan bulan untuk perhitungan. Itulah ketentuan Allah yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. [Al-An'am (6) : 96
3.
Dalil dari hadits. Hadits yang digunakan sebagai dalil ru'yah oleh pengguna
ru'yah juga dipakai sebagai dalil oleh pengguna hisab, hanya saja yang dipakai
adalah versi sanad yang lain dengan matan yang agak berbeda dari dalil yang
digunakan sebagai dalil ru'yah.
Dalilnya adalah :
إِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَصُومُوا
وَإِذَا رَأَيْتُمُوهُ فَأَفْطِرُوا فَإِنْ غُمّ عَلَيْكُمْ فَاقْدُرُوا لَهُ
Rasulullah bersabda, “Jika kalian
melihat Hilal, maka shaumlah kalian. Dan jika kalian melihat Hilal (Syawwal),
maka berbukalah kalian. Jika awan menyelimuti kalian, maka hendaklah kalian
menghitungnya!” <<Bukhari
[nomor : 1900], Muslim [nomor : 1797 (MSV2)] dari Ibnu Umar. Redaksi hadits ini adalah riwayat Bukhari, dan
masih ada beberapa sanad
lain di kedua kitab tersebut yang matannya menyebutkan “faqdiruulahu”>>.
4.
Beberapa ulama
menyatakan bolehnya memakai hisab antara lain : Ibnu Qutaibah, Abul
Abbas Ahmad bin Amr bin
Suraij asy-Syafi'i, Ibnu Hazm, Ibnu Daqiq al-'Iid, Taqiyuddin al- Subki,
Muhammad Rasyid Ridha, Asy-Syarwani, Asy-Syarqawi, Al-`Abbadi, Al-Qalyubi, Ar- Ramli,
Ahmad Muhammad Syakir, Syaraf al-Qudah, Yusuf Al-Qaradhawi, Musthafa Ahmad Az-Zarqa,
dan lain-lain. Ulama-ulama Indonesia juga cukup banyak yang menyatakan bolehnya
menggunakan hisab, beberapa di antara mereka adalah Ahmad Dahlan dan A. Hassan9
rahimahumallah dsb).
Penentuan
Hilal dengan hisab dapat dilakukan dengan metode matematis maupun astronomis, mulai
dari metode yang sederhana hingga yang rumit. Berikut ini adalah dua sistem
hisab utama dalam penentuan Hilal/kalender Hijriyah :
1. Hisab `Urf : Hisab berdasarkan
kebiasaan.
Dalam konteks kalender Hijriyah, pengertiannya
adalah metode perhitungan bulan
Qamariyah dengan cara yang
masih sederhana, yaitu membagi jumlah hari dalam satu tahun ke dalam
bulan-bulan hijriah berdasarkan pematokan usia bulan-bulan tersebut. Sedangkan
pengertiannya menurut ilmu falak adalah metode perhitungan yang ditentukan berdasarkan
waktu peredaran rata-rata bulan mengelilingi bumi (rata-rata jumlah hari dalam
satu bulan dan juga dalam satu tahun).
Pematokan jumlah hari/usia bulan-bulan
Qamariyah dalam hisab `urf misalnya : pasti 30hari untuk bulan ganjil, dan
pasti 29 hari untuk bulan genap (selang seling) dengan pengecualian bulan
terakhir (bulan ke-12) pada tahun kabisat. Dalam tahunan, jumlah hari dalam
satu tahun basitat adalah 354 hari, sedangkan dalam satu tahun kabisat jumlah harinya
adalah 355.
2.
Hisab Haqiqi : Hisab yang sebenarnya, yaitu hisab yang ditentukan berdasarkan waktu
peredaran bulan mengelilingi bumi yang sebenarnya.
Tidak
seperti hisab `urf, umur bulan dengan hisab ini tidak dapat dipatokkan, bahkan
bisa terjadi umur/jumlah hari pada suatu bulan ganjil dan bulan genap adalah 29
atau 30 hari secara berurutan. Hisab yang menggunakan pendekatan matematis dan
astronomis modern hingga hisab yang menggunakan software rumus-rumus algoritma
termasuk dalam hisab haqiqi. Pada zaman ini, hisab hakiki-lah hisab yang banyak
dipakai dan diterima oleh kaum Muslimin, tidak hanya hisab Hilal tetapi juga
hisab lainnya seperti hisab jadwal shalat 5 waktu.
Berikut
ini beberapa metode atau perbedaan pendapat tentang kriteria yang tepat untuk pergantian
bulan Qamariyah dalam ilmu hisab astronomi/falak hakiki :
1. Ijtima ( إجتماع ) = Pertemuan
(Konjungsi astronomis)
Yaitu
bertemunya posisi bulan dan matahari dalam satu garis edar (bertemu pada bujur
eliptik yang sama/ segarisnya bulan dan matahari). Pengertian dari sisi fase
bulan : ijtima` adalah bulan baru, dan dapat disebut juga bulan mati. Disebut
demikian karena pada saat ijtima` bulan lalu telah berakhir dan bulan baru
telah muncul/dimulai.
Metode
hisab yang menggunakan ijtima` sebagai kriteria utama. Jika terjadi ijtima`
pada hari terakhir bulan Qamariyah, maka keesokan harinya adalah awal bulan
baru (tanggal 1).
Metode
ini terbagi menjadi beberapa macam, di antaranya adalah :
a) Ijtima` qabla ghurub : : Ijtima`
sebelum maghrib/matahari terbenam.
Metode
hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari
sebelum maghrib/matahari terbenam, maka hari berikutnya telah bulan baru.
Contoh
kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Jum`at 1 menit sebelum maghrib di Makkah,
maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Dalam
prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya dengan
dipadukan kriteria “bulan terbenam setelah matahari terbenam”10, paduan kriteria
ini dipakai oleh Arab Saudi (kalender Ummul Qura' saat ini) dalam penentuan Hilal
bulan-bulan Qamariyah selain bulan Ramadhan, Syawwal, dan Dzulhijjah dengan 10 Kriteria “bulan terbenam setelah
matahari terbenam” dikenal juga dengan nama metode hisab wujudul Hilal.
b) Ijtima` qabla fajar : Ijtima`
sebelum fajar/matahari terbit.
Metode
hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatuhari sebelum
fajar berikut, maka hari berikutnya itu telah bulan baru.
Contoh
kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Sabtu jam 02.06 am (sebelum fajar), maka
hari Jum'at dan malam Jum`at yang telah berlalu adalah hari terakhir bulan Qamariyah
sedangkan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jadi, metode ini tidak
menerapkan awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat maghrib, tapi menerapkan
awal hari dalam kalender Hijriyah dimulai dari saat fajar11. Metode ini mungkin
tidak begitu dikenal di Indonesia, tetapi metode ini ada dan dipakai di
beberapa negeri lain, contohnya adalah Libya.
c) Ijtima` sebelum jam 12 waktu
Universal (UTC/GMT)
Metode
hisab ini menganggap jika di suatu tempat telah terjadi ijtima` pada suatu hari
sebelum jam 12 waktu Universal (0.00 – 12.00 GMT), maka maghrib hari itu adalah
malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia. Jika terjadi setelah
jam 12 waktu Universal (12.00 – 23.59 GMT), maka maghrib hari berikutnya adalah
malam pertama bulan baru Qamariyah, berlaku untuk seluruh dunia.
Contoh
kasus : Telah terjadi ijtima` pada hari Kamis 11 September pada jam 11 GMT, maka
malam Jum`at dan hari Jum`at 12 Setember adalah awal bulan baru (tanggal 1) Qamariyah
berlaku untuk seluruh dunia. Ini adalah metode hisab yang diusulkan sebagai
kelender Islam global oleh Khalid Asy- Syaukat (ISNA versi 2, USA), diikuti
pula oleh Fiqh Council of North America (FCNA),yang terinspirasi dari metode
hisab yang diusulkan Jamaluddin Abdurrazaq (Moroko) sebagai kalender Qamariah
Islam Unifikasi (at-Taqwim al-Qamari al-Islami al- Muwahhhad).
Metode hisab yang diusulkan
Jamaluddin Abdurrazaq adalah : Jika J >= 00.00 WU & J<12.00 WU, maka
tanggal 1 bulan baru = H+1. Jika J >=12.00 WU & J<24.00, maka tanggal
1 bulan baru=H+2. J=Jam Ijtima`, H=Hari. Metode ini memang sangat mirip dengan
metode yang diusulkan Khalid Asy-Syaukat, yang membuat berbeda adalah
2. Wujudul Hilal
Metode
hisab yang menggunakan wujudul Hilal sebagai kriteria utama, yang Hilal dikatakan
wujud (ada) jika bulan terbenam setelah matahari terbenam. Metode ini menganggap
jika bulan terbenam setelah matahari terbenam pada suatu hari terakhir bulan Qamariyah,
maka maghrib hari itu dan esok hari adalah awal bulan baru (tanggal 1). Jika pada
hari itu matahari terbenam setelah bulan terbenam, maka Hilal belum wujud, sehingga
maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir bulan Qamariyah tersebut (tanggal
30). Pada saat bulan terbenam setelah matahari terbenam, Hilal telah berada
tepat di ufuk atau di atas ufuk (dalam kalimat lain : irtifa`nya adalah 0
derajat atau lebih), oleh karena itu metode hisab wujudul Hilal dapat diartikan
dengan kriteria Hilal di atas ufuk. Walaupun begitu, metode hisab ini tidak
menetapkan kriteria irtifa` minimal dan tidak mempertimbangkan kemungkinan
Hilal untuk diru'yah sebagaimana metode hisab imkanur ru'yah yang akan
dijelaskan pada sub bab selanjutnya.
Contoh
kasus : Pada sore hari Jum`at 29 Sya`ban, bulan terbenam satu menit setelah matahari
terbenam, maka malam Sabtu dan hari Sabtu adalah awal bulan baru (tanggal 1 Ramadhan).
Dalam
prakteknya, metode hisab ini dapat dipadukan dengan kriteria lain, misalnya
dengan dipadukan dengan metode ijtima` qabla ghurub, perpaduan ini penting
karena dalam faktanya terkadang Hilal telah wujud tapi belum terjadi ijtima`.
3. Imkanur Ru'yah (Kemungkinan Hilal
dapat dilihat / visibilitas Hilal)
Metode
hisab ini menggunakan suatu kriteria yang mempertimbangkan kemungkinan untuk ru'yah
Hilal. Kriteria itu dapat berupa irtifa`, sudut elongasi14, umur Hilal, lebar
Hilal, dan sebagainya. Metode ini menganggap bahwa jika posisi Hilal sudah
memenuhi syarat suatu kriteria imkanur ru'yah yang dipakai (sebagai contoh :
irtifa`), maka dalam kondisi normal (cuaca cerah, tidak hujan, dan sejenisnya)
Hilal sudah dapat dipastikan dapat terlihat meskipun pada kenyataannya belum
tentu dapat benar-benar terlihat, maghrib hari itu dan esok hari adalah awal
bulan baru (tanggal 1). Jika belum memenuhi syarat kriteria imkanur ru'yah
(sebagai contoh : irtifa`), maka maghrib hari itu dan esok hari adalah hari terakhir
bulan Qamariyah tersebut (tanggal 30).
Catatan
penting : Walaupun dalam namanya terdapat kata ru'yah, “imkanur ru'yah” bukanlah
suatu metode atau bagian dari ru'yah itu sendiri melainkan berupa suatu metode atau
kriteria hisab Hilal astronomi sebagaimana metode hisab Hilal astronomi
lainnya. Imkanur ru'yah yang digunakan oleh sebagian kaum Muslimin terdiri dari
beberapa kriteria yang berbeda, di antaranya adalah :
a)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria irtifa` minimal 2 derajat. Kriteria ini
dipilih/dapat diterima oleh NU (NU
menggunakan hisab sebagai alat bantu). Kriteria ini juga dipakai pemerintah
Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS) dengan tambahan
kriteria : (1) umur Hilal minimal 8 jam, dan (2) sudut elongasi minimal 3 derajat.
Kriteria ini juga masih dipakai saat ini oleh PERSIS15.
b)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria (1) irtifa` minimal 5 derajat, (2) sudut
elongasi minimal 8 derajat. Kriteria ini ditetapkan sebagai kesepakatan
Istambul oleh beberapa ahli hisab pada saat terjadinya konferensi kalender
Islam di Turki pada tahun 1978.
c)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 5 derajat. Kriteria ini
diusulkan oleh Derek McNally pada tahun 1983.\
d)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat ditambah
kriteria
irtifa` minimal 4
derajat. Kriteria ini diusulkan oleh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) Bandung. Kriteria sudut elongasi minimal 6.4 derajat merupakan kriteria
yang lebih dahulu diusulkan Odeh / Muhammad Syaukat Audah16.
e)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7 derajat dan umur Hilal minimal
12 jam. Kriteria ini diusulkan oleh Andre Danjon, direktur Observatorium Starsbourg
dari Prancis, pada tahun 1936. Kriteria ini dikenal pula dengan istilah “Limit Danjon”.
Kriteria ini juga diterima oleh Bradley E. Schaefer dari USA pada tahun 1991.
f)
Imkanur Ru'yah dengan kriteria sudut elongasi minimal 7.5 derajat. Kriteria ini
diusulkan oleh Louay F. Fatoohi, F. Richard Stephenson & Shetha S.
Al-Dargazelli pada tahun 1998. Kriteria ini dikenal kriteria Fatoohi.
B.
Ru'yah ( رؤْية ) =
Penglihatan
Dalam konteks bulan Qamariyah atau dalam konteks penentuan Hilal
yang dimaksud denganru'yah adalah ru'yah Hilal yaitu melihat Hilal dengan cara
melihatnya dengan mata langsung atau melalui
alat bantu (kamera, teropong, teleskop, binokuler, theodolite, dan alat-alat
lainnya) Ru'yah dapat pula ditransliterasikan dengan kata “ru'yat”. Dan
kegiatan melihat Hilal ini dikenal juga dengan istilah ru'yah Hilal bil fi`li.
Ru'yah
Hilal dilakukan pada hari ke 29 (yaitu pada sore harinya menjelang/setelah
maghrib) suatu bulan Qamariyah. Jika Hilal tidak terlihat pada proses ru'yah
Hilal, maka bulan Qamariyah tersebut disempurnakan/digenapkan menjadi 30 hari. Pada
zaman Rasulullah, orang-orang (para shahabat) berusaha bersama-sama untuk
melihat Hilal, sebagaimana yang pernah diceritakan oleh Ibnu Umar Radiyallahu
Anhuma ketika dia dan para shahabat Rasulullah lainnya berusaha untuk
melihat Hilal Ramadhan :
تَرَاءَى النّاسُ الْهِلَلَ
فَأَخْبَرْتُ رَسُولَ الِّ صَلّى الُّ عَلَيْهِ وَسَلّمَ أَنّي رَأَيْتُهُ فَصَامَهُ
وَأَمَرَ النّاسَ بِصِيَامِهِ
Ibnu Umar berkata, “Orang-orang berusaha melihat
Hilal, maka aku mengabarkan kepada Rasulullah Shallallahu `Alaihi Wasallam
bahwa aku telah melihatnya. Maka beliau shaum karena hal itu, dan beliau
memerintahkan orang-orang untuk shaum.”
<<< Hadits Riwayat Abu Dawud nomor : 1995 (MSV2) >>>.
Berdasarkan
atsar tersebut, umat Islam dapat lebih memperhatikan tentang ru'yah Hilal ini
sehingga sebagian kaum Muslimin dapat meluangkan waktunya untuk berusaha
melihat Hilal pada akhir bulan, terutama pada 3 bulan penting. Dengan begitu,
umat Islam akan semakin banyak yang mengetahui dan memahami tentang ru'yah
Hilal, bagaimana bentuk Hilal dalam praktek, susah atau mudahnya dalam melihat
Hilal, dan sebagainya. Walaupun pada zaman sekarang ini perkembangan hisab,
terutama hisab astronomi, sudah sangat maju, tradisi para shahabat dalam
berusaha melihat Hilal pada akhir bulan tetap dapat dipraktekkan dan dibiasakan
kembali pada zaman ini, entah dipraktekkan oleh pengguna ru'yah murni maupun
dipraktekkan oleh pengguna ru'yah dengan memakai bantuan hisab (ru'yah
tergantung/ terpandu dengan hisab).
Dari
sisi penerapan ru'yah Hilal, ru'yah dapat dibagi menjadi dua bagian :
1. Ru'yah murni
Orang
yang memakai ru'yah murni ini sama sekali tidak memakai hisab untuk melihat
Hilal. Jika suatu Hilal dapat terlihat menurut pengguna ru'yah murni sedangkan
menurut pengguna hisab astronomi Hilal tidak mungkin dapat terlihat, maka
pengguna ru'yah murni akan tetap menyatakan Hilal telah terlihat dan menolak
pernyataan pengguna hisab astronomi. Di antara alasan mereka adalah : ru'yah
Hilal adalah sunnah, ru'yah Hilal adalah ibadah, bahkan ada sebagian dari
mereka yang sampai berpendapat bahwa hisab adalah bid`ah sehingga sangat alergi
dan benci dengan penggunaan hisab, terutama hisab untuk penentuan Hilal.
2. Ru'yah dengan memakai bantuan hisab
(ru'yah tergantung/terpandu dengan hisab).
Orang
yang memakai penerapan ini tetap berpendapat bahwa ru'yah Hilal adalah cara terbaik
dalam menentukan Hilal, tetapi mereka tidak menolak penggunaan hisab, mereka tetap
memakai hisab sebagai alat bantu/panduan dalam menentukan Hilal. Hasil hisab dalam
penentuan Hilal dibuktikan kebenarannya dengan ru'yah Hilal dalam praktek.
Hasil ru'yah dalam praktek dibuktikan kebenarannya dengan hisab astronomi. Jika
dalam praktek ru'yah Hilal suatu bulan Qamariyah dapat terlihat oleh pengamat
Hilal tapi menurut ahli hisab astronomi bahwa itu tidak mungkin Hilal (Hilal
tidak mungkin terlihat pada saat itu) berdasarkan kriteria hisab yang dipakai,
maka kesaksian pengamat Hilal tersebut dapatditolak dan tidak dipakai.
Dalam
praktek ru'yah Hilal, berhasil atau tidaknya suatu Hilal dapat terlihat,
tergantung dariBbeberapa faktor, yaitu :
1.
Tingkat pengamatan (baik atau buruk) orang yang melihat Hilal Ini adalah faktor
dari sisi manusia. Pengetahuan dan pemahaman tentang Hilal yang bagus, tingkat pengamatan yang baik serta
pekanya mata orang yang melihat Hilal bahkan faktor psikologis pengamat akan
menjadi faktor keberhasilan Hilal dapat terlihat. Alat bantu yang digunakan
dalam melihat Hilal juga termasuk dalam faktor ini.
2.
Ukuran dan cahaya Hilal Ini adalah faktor dari sisi Hilal. Semakin besar maka
akan semakin mungkin Hilal dapat terlihat. Faktor ini juga berkaitan erat
dengan faktor berikutnya.
3.
Cuaca Ini adalah faktor dari sisi alam. Cuaca, transparansi udara mempengaruhi
terlihat atau tidaknya Hilal. Cuaca yang tidak mendung atau hujan, tingkat
penyerapan cahaya Hilal oleh atmosfir, tingkat penyebaran cahaya di dalam
atmosfir, transparansi udara yang bersih akan menjadi beberapa faktor
keberhasilan Hilal dapat terlihat.
4.
Lokasi / Geografis Suatu lokasi pengamatan yang sedang turun hujan, pada lokasi
pengamatan yang lain belum tentu turun hujan. Faktor keberhasilan melihat Hilal
di lokasi yang lapang dan tidak ada gangguan cahaya (dari benda alami maupun
buatan) jelas jauh lebih tinggi daripada di lokasi di tengah kota yang penuh
bangunan tinggi dan siraman cahaya lampu.
Empat
faktor tersebut sangat berperan bagi orang yang ingin melihat Hilal, entah
orang itu menggunakan ru'yah murni maupun ru'yah dengan memakai bantuan hisab
(ru'yah tergantung/terpandu dengan hisab). Hanya saja bagi orang yang
menggunakan ru'yah dengan memakai bantuan hisab masih terdapat satu faktor
utama lagi, yaitu :
5.
Faktor Astronomi Hilal harus mungkin terlihat secara astronomi, misalnya posisi
Hilal minimal harus mencapai ketinggian beberapa derajat, lebar Hilal, umur
bulan minimal beberapa jam, dan sebagainya.
Jika
Hilal dapat terlihat dalam suatu ru'yah, maka hasil ru'yah tersebut dilaporkan
kepada pemimpin kaum Muslimin. Hasil ru'yah tersebut dilaporkan dengan suatu
kesaksian (disertai dengan sumpah) dari saksi (orang yang telah melihat Hilal).
Syarat utama suatu kesaksian dapat diterima adalah :
1. Muslim yang adil, dan
2.
kesaksiannya yang menyatakan bahwa dia telah melihat Hilal. Jika kesaksian
tersebut diterima, maka pemimpin mengumumkan bahwa pada saat itu (malam ketika
Hilal telah terlihat) sudah memasuki bulan baru Qamariyah, jika pada bulan Ramadhan
maka pengumuman dapat disertai perintah shaum, jika pada bulan Syawwal dapat
disertai perintah berbuka.
Menurut
fuqaha (para ahli fiqh), kesaksian melihat Hilal terdapat batas minimumnya :
1.
Hilal bulan Ramadhan :
Kesaksian
satu orang laki-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat diterima.
Ini adalah pendapat Ibnul Mubarak, Imam Asy-Syafi`i, dan Ahmad.
2. Hilal bulan Syawwal :
a)
Kesaksian minimal dua orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat
Hilal dapat diterima. Ini adalah pendapat umumnya fuqaha.
b)
Kesaksian satu orang laik-laki (Muslim dan adil) yang telah melihat Hilal dapat
diterima.
Ini
adalah pendapat Abu Tsaur, dan madzhab Zhahiri, dan ini adalah pendapat yang dirajihkan
(dianggap pendapat yang paling benar) oleh Asy-Syaukani. Hadits Ibnu Umar yang
sudah disebutkan sebelumnya dapat menjadi dalil tentang ke-rajih-an pendapat
ini.
Dalam
prakteknya, terkadang sumpah kesaksian lebih kuat daripada hasil hisab Hilal
(misal : banyak atau sebagian ahli hisab menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin
dapat dilihat pada hari K), dan terkadang kesaksian ditolak bila bertentangan
dengan hasil hisab Hilal (misal : bila sangatbanyak atau semua ahli hisab
menyatakan bahwa Hilal tidak mungkin
dapat dilihat pada hari L). Hal tersebut tergantung dari penerapan metode dan
kriteria ru'yah atau hisab yang dipakai.
Penentuan
Hilal melalui ru'yah memiliki beberapa perbedaan pendapat dari sisi
penerapanmathla`, yaitu :
1. Satu ru'yah untuk semua negeri
(ru'yah global)
Maksudnya
: Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti, maka negeri lain wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut tidak
melihat Hilal di negerinya sendiri. Contoh penerapan pada zaman sekarang adalah
: Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat Hilal pada suatu waktu (misal
: malam Jum`at untuk penentuan bulan Ramadhan 2000 H), negara-negara lain di
seluruh dunia yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru'yah Arab Saudi
(yakni pada saat itu di setiap negara malam Jum`at dan hari Jum`at adalah
tanggal 1 Ramadhan 2000 H).
Pendapat
satu ru'yah untuk semua negeri ini adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Sayyid Sabiq rahimahullah :
.ذهب
الجمهور: إلى أنه ل عبرة باختلف المطالع
فمتى رأى الهلل أهل بلد، وجب الصوم على
جميع البلد لقول الرسول صلى ال عليه وسلم "
." صوموا
لرؤيته، وافطروا لرؤيته
.وهو
خطاب عام لجميع المة فمن رآه منهم في أي مكان كان ذلك رؤية لهم جميعا
Jumhur
berpendapat : Tidak ada perbedaan mathla`, maka penduduk negeri apa saja yang telah
melihat Hilal, maka seluruh negeri wajib shaum sebagaimana hadits Rasulullah, “Shaumlah
kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah kalian karena melihat
Hilal (awal Syawwal)”. Ucapan tersebut adalah umum untuk semua umat, maka barangsiapa
di antara mereka yang telah melihat Hilal di tempat mana saja, maka itu adalah
ru'yah bagi mereka semua (Fiqhu as-Sunnah Juz 1 halaman 436
(MSV2)).
2. Satu ru'yah untuk satu negeri dan
negeri yang berdekatan.
Maksudnya
: Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti, maka negeri yang berdekatan wajib mengikutinya walaupun negeri tersebut
tidak melihat Hilal di negerinya sendiri. Sedangkan negeri yang berjauhan tidak
wajib mengikuti Hilal negeri tersebut. Bagaimana cara menentukan suatu negeri
dengan negeri lain itu dekat atau jauh? Ulama yang berpendapat dengan pendapat
mathla` ini berbeda pendapat dalam menentukan dekat atau jauhnya suatu negeri,
ada yang berpendapat berdasarkan jarak (jarak qashar shalat atau jarak
perjalanan), perbedaan iklim, perbedaan wilayah, dan lain-lain.
Contoh
penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Indonesia telah menyatakan telah melihat
Hilal, negara-negara tetangga Indonesia (Malaysia, Brunei, Filipina, Thailand,
dsj) yang belum melihat Hilal harus mengikuti hasil ru'yah Indonesia. Pendapat
ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi'iyyah.
3. Setiap negeri memiliki ru'yah
masing-masing (ru'yah lokal).
Maksudnya
: Jika suatu negeri telah menyatakan telah melihat (ru'yah) Hilal dengan terpercaya
dan terbukti maka negeri lain tidak wajib mengikutinya jika mereka tidak
melihat Hilal di negerinya sendiri.
Contoh
penerapan pada zaman sekarang adalah : Jika Arab Saudi telah menyatakan telah melihat
Hilal, negara-negara lain di seluruh dunia yang belum melihat Hilal tidak harus
mengikuti hasil ru'yah Arab Saudi, melainkan mengandalkan hasil ru'yah di
negerinya sendiri. Pendapat ini adalah pendapat Ikrimah, Qasim bin Muhammad, Salim,
Ishaq rahimahumullah, dan pendapat yang dipilih oleh sebagian ulama
Syafi'iyyah.
Ketiga
pendapat dalam masalah ru'yah Hilal tersebut memiliki dalil/argumen yang sama
(dengan pemahaman yang berbeda), yaitu suatu hadits riwayat Bukhari dan Muslim
:
صُومُوا لِرُؤْيَتِهِ وَأَفْطِرُوا
لِرُؤْيَتِهِ فَإِنْ غُبّيَ عَلَيْكُمْ فَأَكْمِلُوا عِدّةَ شَعْبَانَ ثَلَثِينَ
Rasulullah
bersabda, “Shaumlah kalian karena melihat Hilal (awal Ramadhan), dan berbukalah
kalian karena melihat Hilal (awal Syawwal). Jika (Hilal) tertutup atas kalian,
maka sempurnakanlah jumlah Sya'ban menjadi 30 hari.” <<Bukhari [nomor
: 1909], Muslim [nomor : 1809 (MSV2)] dari Abu Hurairah. Redaksi hadits
ini adalah riwayat Bukhari>>
Sedangkan
pendapat setiap negeri memiliki ru'yah masing-masing memiliki tambahan dalil
dari hadits Kuraib / Ibnu Abbas :
أَنّ أُمّ الْفَضْلِ بِنْتَ
الْحَارِثِ بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشّامِ قَالَ فَقَدِمْتُ الشّامَ فَقَضَيْتُ
حَاجَتَهَا وَاسْتُهِلّ عَلَيّ
رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشّامِ
فَرَأَيْتُ الْهِلَلَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ ثُمّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشّهْرِ
فَسَأَلَنِي عَبْدُ الِّ بْنُ
عَبّاسٍ رَضِيَ الُّ عَنْهُمَا
ثُمّ ذَكَرَ الْهِلَلَ فَقَالَ مَتَى رَأَيْتُمْ الْهِلَلَ فَقُلْتُ رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ
الْجُمُعَةِ فَقَالَ أَنْتَ رَأَيْتَهُ
فَقُلْتُ نَعَمْ وَرَآهُ
النّاسُ وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ فَقَالَ لَكِنّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السّبْتِ
فَلَ نَزَالُ نَصُومُ حَتّى نُكْمِلَ
ثَلَثِينَ أَوْ نَرَاهُ فَقُلْتُ
أَوَ لَ تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ فَقَالَ لَ هَكَذَا أَمَرَنَا
رَسُولُ الِّ صَلّى الُّ عَلَيْهِ
وَسَلّمَ
Kuraib berkata :
---Ummu Al-Fadhl binti Al-Harits pernah mengutus Kuraib pergi ke Mu`awiyah di Syam.---Aku
tiba di Syam, lalu aku menyelesaikan urusan Ummu Al-Fadhl. Lalu Hilal Ramadhan diumumkan
ketika aku masih berada di Syam. Aku melihat Hilal pada malam Jum'at. Lalu aku
tiba di Madinah pada akhir bulan (Ramadhan), lalu Ibnu Abbas menanyakanku –lalu
dia menyebut Hilal–. Ibnu Abbas bertanya, “Kapan kalian melihat Hilal?” Aku
menjawab, “Kami melihat Hilal pada malam Jum'at.” Ibnu Abbas bertanya, “Kamu
melihat Hilal?” Aku menjawab, “Ya, dan orangorang melihat Hilal, lalu mereka
shaum, dan Mu'awiyah juga shaum.” Ibnu Abbas berkata, “Tapi kami melihatnya
pada malam Sabtu, maka kami tidak berhenti shaum hingga kami menyempurnakan 30
hari atau kami melihat Hilal.” Aku bertanya, “Apakah tidak cukup bagimu ru'yah
Mu'awiyah dan shaumnya?” Ibnu Abbas menjawab, “Tidak, begitulah Rasulullah
telah memerintahkan kami.” << Hadits Riwayat Abu Dawud [nomor : 1985
(MSV2)], Muslim [nomor : 1819 (MSV2)], dan At-Tirmidzi. Tirmidizi
berkata : Hasan, Shahih, Gharib >>
Pendapat
yang Ideal Tentang ru'yah
Dalam
masalah ru'yah, kaum Muslimin saling berbeda pendapat tentang pendapat manakah
yang paling kuat dalam penentuan ru'yah, apakah pendapat pertama (satu ru'yah
untuk semua negeri), pendapat kedua (satu ru'yah untuk satu negeri dan negeri
yang berdekatan), atau pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru'yah
masing-masing)? Menurut penulis, pendapat yang paling kuat / mendekati
kebenaran adalah pendapat yang pertama, Insya Allah, pendapat yang paling ideal,
dan juga merupakan pendapat mayoritas ulama. Hal ini memiliki beberapa alasan
antara lain :
1.
Kata “kalian” pada hadits ru'yah berlaku umum untuk semua orang Islam. Jika ada
yang melihat Hilal, jujur, terpercaya dan terbukti tanpa memandang perbedaan mathla`
(tempat munculnya Hilal), maka persaksian itu harus diterima.
2. Umat Islam itu satu, karena itu perlu
penyeragaman dalam penentuan Hilal bulan
Qamariyah. Sebagian
kalangan meyakini bahwa pendapat ketiga (setiap negeri memiliki ru'yah
masingmasing) adalah pendapat yang lebih kuat dengan dalil hadits Kuraib yang
sudah disebut sebelumnya dan menyatakan bahwa jika pendapat pertama (satu
ru'yah untuk semua negeri) lebih kuat, maka hadits umum tentang ru'yah itu
bertentangan/bentrok dengan hadits Kuraib.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar