Minggu, 26 Juni 2011

MUJMAL,BAYYAN DAN MUBAYYAN


MUJMAL ,BAYYAN DAN MUBAYYAN
Definisi Mujmal (المجمل) :
Secara etimologi, kata mujmal berarti sesuatu yang diragukan. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mujmal dalam berbagai macam. Imam sarakhasi mendefinisikan mujmal sebagai berikut :
المجمل هو لفظ لا يفهم ا لمراد منه الا با ستفسار من ا لمجمل و بيان من جهته يعرف به المراد
Mujmal adalah suatu lafal yang tidak dapat dipahami maksudnya kecuali ada penjelasan dari yang mengeluarkan lafal mujmal itu dan melalui penjelasannya diketahui maksud lafal tersebut. (Abi Bakar Muhammad bin Ahmad bin Abi Sahal Al-Sarakhasi, 1973 : 168)
Wahbah Al-Zuhaili mendefinisikan mujmal dengan :
المجمل هو اللفظ الذي خفي المراد منه بنفسه اللفظ خفاء لا يدرك الا ببيان من المتكلم به 
Mujmal adalah lafal yang sulit dipahami maksudnya kecuali melalui penjelasan dari mutakallim (orang yang mengucapkan). (Wahbah Al-Zuhaili, 2001 : 340)
Sedangkan Jalaluddin Abd Al-Rahman mendefinisikan mujmal sebagai :
المجمل هو ماله د لالة غير واضحة
Mujmal adalah lafal yang dilalahnya tidak jelas. (Jalaluddin Abd Al-Rahman, 2003 : 12)
Dari beberapa definisi mujmal di atas dipahami bahwa mujmal merupakan suatu lafal yang sulit dipahami kecuali ada penjelasan langsung dari yang menyampaikan lafal tersebut. Kesulitan memahami lafal ini bukan berasal dari luarnya, tetapi dari lafal itu sendiri. Untuk dapat memahami lafal mujmal sangat bergantung pada penjelasan mutakallim atau Syari’ yang menyampaikan lafal tersebut. (Firdaus, 2008 : 162)

Ada beberapa sebab suatu lafal disebut mujmal, yaitu :
1.      Lafal yang mempunyai makna musytarak tanpa diiringi oleh indikator (qarinah) sehingga sulit untuk mengetahui makna yang paling terkuat diantaranya. Misalnya, lafal quru’ dalam firman Allah S. Al-Baqarah : 228 yang berbunyi :
àM»s)¯=sÜßJø9$#ur šÆóÁ­/uŽtItƒ £`ÎgÅ¡àÿRr’Î/ spsW»n=rO &äÿrãè%
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’”.
Lafal quru’ ini secara bahasa berarti suci dan haid. Imam Syafi’i berpendapat bahwa lafal quru’ berarti suci, sedangkan imam Abu Hanifah berpendapat bahwa quru’ berarti haid. (Saiful Hadi, 2009 : 69)
2.      Suatu lafal yang maknanya secara bahasa aneh atau ganjil, seperti kata (هلوع) pada firman Allah S. Al-Ma’arij :19 – 21 yang berbunyi :
* ¨bÎ) z`»|¡SM}$# t,Î=äz %·æqè=yd ÇÊÒÈ #sŒÎ) çm¡¡tB •Ž¤³9$# $Yãrâ“y_ ÇËÉÈ #sŒÎ)ur çm¡¡tB çŽösƒø:$# $¸ãqãZtB ÇËÊÈ
Artinya:“Sesungguhnya manusia diciptakan bersifat keluh kesah lagi kikir. Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah. Dan apabila ia mendapat kebaikan ia amat kikir”.
Kata (هلوع) dalam ayat 19 S. Al-Ma’arij ini sulit dipahami sampai Allah menjelaskan pada ayat 20 dan 21 pada surat yang sama.
3.      Pemindahan lafal dari makna kebahasaan menuju makna secara istilah atau menurut syara’, seperti lafal shalat, zakat, puasa, dan haji. Sehubungan dengan ini, Sunnah dating menjelaskan makna secara syara’ dari lafal-lafal ini. Apabila tidak ada penjelasan Syari’ tentang makna lafal-lafal ini, maka tidak mungkin mengetahui makna lafal tersebut secara syara’ sebagaimana yang diinginkan oleh Syari’.
 Bentuk Lafadz Mujmal
Lafadz yang mujmal mempunyai dua bentuk : (M. Umar, 1983 : 301)
1)      Bentuk Al-Ifrod yang terdiri dari satu lafadz. Bentuk Al-Ifrod itu dapat terjadi karena :
  • Satu lafadz mempunyai beberapa arti (musytarak) seperti lafadz quru’ dapat berarti haid dan dapat pula berarti suci
  • Pengambilan kata-kata (etimologis) seperti qoola dapat berarti perkataan kalau diambil dari kata qaulun dan dapat berarti tidur siang kalau diambil dari kata-kata qailulah
  • Lafadz yang digunakan untuk menunjukkan istilah syara’ tertentu seperti lafadz shalat, zakat, puasa, dan sebagainya.
Bentuk Al-Ifrod itu dapat pula berupa :
  • Isim seperti lafadz laun dapat berarti hitam atau putih, lafadz Nashil dapat berarti dahaga atau segar.
  • Fiil seperti lafadz ‘as’asa dapat berarti menghadap atau membelakangi
  • Hukum seperi huruf wawu dapat berfungsi sebagai athaf (kata hubung) atau isti’naf (permulaan kata) atau berfungsi sebagai hal. Huruf ilaa dapat menunjukkan ghaya (batas = sampai) dapat berarti ma’a (beserta)
2)      Bentuk At-Tarkib yakni susunan kalimat dari beberapa lafadz yang merupakan rangkaian satu kalimat yang tak dapat dipisah-pisahkan, seperti firman Allah S. Al-Baqarah : 237 yang berbunyi :
÷rr& (#uqàÿ÷ètƒ “Ï%©!$# ¾Ínωu‹Î/ äoy‰ø)ãã Çy%s3ÏiZ9$# 4
Artinya:“Atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah”
Di dalam ayat di atas masih berbentuk ijmal karena kalimat “orang yang memegang ikatan nikah”, itu dapat berarti “suami” dan dapat pula berarti “wali”.
Untuk menentukan siapa di antara keduanya yang dimaafkan itu perlu bayan, yaitu sebagaimana yang diterangkan selanjutnya dalam ayat 237 S. Al-Baqarah tersebut.
 Hukum Mujmal
Terhadap lafal yang mujmal perlu tawaqquf untuk mengetahui maksudnya. Lafal ini tidak dapat diamalkan sampai dating penjelasan dari Syari’ tentang maksudnya. Apabila penjelasan dari Syari’ terhadap lafal mujmal cukup jelas, maka lafal mujmal berubah menjadi lafal mufassar sehingga hukum yang dikandungnya harus diambil, seperti penjelasan Syari’ tentang lafal shalat, zakat dan haji.
Apabila penjelasan lafal mujmal oleh Syari’ tidak begitu jelas, maka lafal mujmal berada pada posisi lafal musykil dan hukumnya tetap diambil. Dalam hal ini, mujtahid berupaya kuat untuk menghilangkan kemusykilan yang terdapat dalam lafal tersebut dengan tidak bergantung pada penjelasan baru dari Syari’. Misalnya, lafal riba pada firman Allah S. Al-Baqarah : 275 yang berbunyi :
¨@ymr&ur ª!$# yìø‹t7ø9$# tP§ymur (#4qt/Ìh9$#
Artinya;“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
Menurut Abu Hanifah, lafal riba yang terdapat dalam ayat ini mujmal karena riba secara bahasa berarti tambahan. Sebagaimana yang diketahui bahwa tidak semua tambahan termasuk riba. Jual beli yang disyariatkan Islam bertujuan untuk memperoleh keuntungan dan tambahan.
Namun, yang dilarang dalam Islam adalah memperoleh tambahan dalam sebuah transaksi tanpa ada pengganti yang disyariatkan ketika transaksi berlangsung. Untuk menentukan suatu transaksi termasuk riba atau tidak perlu didukung oleh penjelasan Syari’. Dalam hal ini, Nabi SAW hanya menjelaskan enam jenis barang yang termasuk riba, yaitu emas, perak, gandum, jelai, korma, dan garam. (HR. Bukhari).
Untuk itu, para ulama boleh melakukan ijtihad menentukan jenis barang lain yang termasuk riba dengan mengqiyaskan kepada enam jenis barang yang disebutkan dalam hadits ini. (Zaidan, 2003 : 352 – 353)

 Definisi mubayyan (المبيَّن) :
Secara etimologi, kata mubayyan seakar dengan kata bayan yang berarti jelas atau terang. Kata bayan dapat pula berarti mengeluarkan lafadz mujmal dari keadaan yang sulit dipahami agar jelas dan mudah untuk dipahami.
Istilah mubayyan adalah lawan dari mujmal. Secara istilah, para ahli ushul fiqh mendefinisikan mubayyan sebagai berikut :
المبين ما اتضحت دلا لته بالنسبة الى معنا ها
“Mubayyan adalah suatu lafal yang dilalahnya telah jelas dengan memperhatikan maknanya”. (Firdaus, 2008 : 165)

Dilihat dari segi kejelasan maknanya, mubayyan terbagi menjadi dua bentuk.
1.      Al-wadih bi Nafsihi, yaitu lafal yang telah jelas maknanya sejak awal penggunaannya sehingga tidak membutuhkan penjelasan dari lafal lain. Kejelasan lafal ini diketahui melalui pendekatan bahasa, seperti firman Allah SWT dalam S. Al-Baqarah : 282 yang berbunyi
: وَٱللَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ عَلِيمٌۭ
Artinya:“Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”
Makna yang terkandung dalam ayat ini dapat dipahami dengan mudah dengan melihat penggunaan bahasanya.
Selain itu, kejelasan lafal dapat diketahui dengan menggunakan akal, seperti firman Allah SWT dalam S. Yusuf : 82 yang berbunyi :
وَاسْأَلِ الْقَرْيَةَ الَّتِي كُنَّا فِيهَا وَالْعِيرَ الَّتِي أَقْبَلْنَا فِيهَا ۖ وَإِنَّا لَصَادِقُونَ

Artinya: “Dan tanyalah (penduduk) negeri yang kami berada di situ”. dan kafilah yang kami datang bersamanya, dan sesungguhnya kami adalah orang-orang yang benar
Apabila diperhatikan secara bahasa, ayat ini memerintahkan untuk bertanya kepada kampung. Hal ini tentu tidak logis. Oleh sebab itu, akal dapat memahami bahwa yang diperintahkan sebenarnya bertanya kepada penduduk yang tinggal di kampung tersebut.
Adakala kejelasan lafal diperoleh melalui illat yang terdapat padanya. Hal seperti ini disebut kalangan Hanafiyyah dengan dilalah al-nash dan kalangan Syafi’iyyah menyebutnya fahwal khitab. Dalam hal ini, hukum yang terdapat pada maskut anhu (yang tidak disebutkan) lebih utama dari hukum mantuq (yang disebutkan). Misalnya, larangan mengucapkan kata uff kepada orang tua dalam s. Al-Isra’ : 23 yang berbunyi :
وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًا كَرِيمًاŸ
Artinya: Dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, Maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkanlah kepada mereka perkataan yang mulia “.
Mengucapkan kata “ah” kepada orang tua akan menyakitkan hatinya. Namun, mencaci maki dan memukulnya lebih menyakitkan dari mengucapkan kata “ah” karena itu hal tersebut lebih utama haramnya.
2.      Al-wadih bi Ghairihi, yaitu untuk mengetahui maknanya perlu dibantu oleh lafal lain. Misalnya, firman Allah SWT pada S. Al-An’am : 141 yang berbunyi :
كُلُوا مِن ثَمَرِهِ إِذَا أَثْمَرَ وَآتُوا حَقَّهُ يَوْمَ حَصَادِهِ
Artinya: Dan tunaikanlah haknya di hari memetik hasilnya (dengan dikeluarkan zakatnya)”.
Kata hak yang terdapat dalam ayat ini mengandung makna sesuatu yang memiliki sifat, maka penjelasannya dapat berupa kadar atau ukuran.

Contoh yang dapat difahami maksudnya dengan asal peletakannya : lafadz : langit (سماء), bumi (أرض), gunung (جبل), adil (عدل), dholim (ظلم), jujur (صدق). Maka kata-kata ini dan yang semisalnya dapat difahami dengan asal peletakannya, dan tidak membutuhkan dalil yang lain dalam menjelaskan maknanya.
Contoh yang dapat difahami maksudnya setelah adanya penjelasan : firman AllahSWT :
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya:Dan dirikanlah sholat dan tunaikan zakat” (Al-Baqoroh : 43)
Maka mendirikan sholat dan menunaikan zakat, keduanya adalah mujmal, tetapi pembuat syari’at (AllAH) telah menjelaskannya, maka lafadz keduanya menjadi jelas setelah adanya penjelasan.
Beramal dengan Dalil yang Mujmal:
Seorang mukallaf wajib bertekad untuk beramal dengan dalil yang mujmal ketika telah datang penjelasannya.
Nabi shallallahu alaihi wa sallam telah menjelaskankan semua syari’atnya kepada umatnya baik pokok-pokoknya maupun cabang-cabangnya, sehingga beliau meninggalkan ummat ini di atas syari’at yang putih bersih malamnya seperti siangnya, dan beliau tidak pernah sama sekali meninggalkan penjelasan (terhadap syari’at) ketika dibutuhkan.
Dan penjelasan Nabi shallallahu alaihi wa sallam itu berupa perkataan atau perbuatan atau perkataan dan sekaligus perbuatan.
Contoh penjelasan beliau shollallohu alaihi wa sallam dengan perkataan : Pengkhobaran beliau tentang nishab-nishab dan ukuran zakat, sebagaimana dalam sabdanya shallallahu alaihi wa sallam :
فيما سقت السماء العشر
“Apa-apa (pertanian) yang diairi dengan air hujan zakatnya adalah 1/10″
Sebagai penjelasan dari firman Allah SWT yang mujmal :
وَآتُوا الزَّكَاةَ
Artinya; Dan tunaikanlah zakat” (Al-Baqoroh : 43).
Contoh penjelasan  shallallahu alaihi wa sallam dengan perbuatan : perbuatan beliau dalam manasik di hadapan ummat sebagai penjelasan dari firman Allah SWT yang mujmal :
وَلِلَّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْت
Artinya: Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah” (Ali Imron :97)
Dan demikian juga sholat kusuf (gerhana bulan) dengan sifat sholatnya, dalam kenyataannya hal ini merupakan penjelasan terhadap sabdanya shallallahu alaihi wa sallam yang mujmal :
فإذا رأيتم منها شيئاً فصلوا
“Jika kalian melihat sesuatu darinya maka sholatlah”. (Muttafaqun alaihi).
Contoh penjelasan beliau shallallahu alaihi wa sallam dengan perkataan dan sekaligus perbuatan : penjelasan beliau shallallahu alaihi wa sallam tentang tata cara sholat, sesungguhnya pejelasan beliau adalah dengan perkataan dalam hadits al-musi’ fi sholatihi (orang yang jelek dalam sholatnya), dimana beliau shllallahu alaihi wa sallam bersabda :
ذا قمت إلى الصلاة، فأسبغ الوضوء، ثم استقبل القبلة فكبر..
Artinya: Jika engkau akan sholat maka sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadaplah ke qiblat lalu bertakbirlah….”, al-hadits.
Dan penjelasan beliau adalah dengan perbuatan juga, sebagaimana dalam hadits Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi rodhiyallohu anhu bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam berdiri di atas mimbar lalu bertakbir (takbirotul ihrom, pent), dan orang-orangpun bertakbir di belakang beliau sedangkan beliau berada di atas mimbar…., Al-Hadits, dan dalam hadits tersebut : “kemudian beliau menghadap kepada orang-orang dan berkata :
إنما فعلت هذا؛ لتأتموا بي، ولتعلموا صلاتي
Artinya: hanya saja aku melakukan ini supaya kalian mengikuti gerakanku dan supaya kalian mengetahui sholatku”.
Lafadz Mubayyan terhadap Lafadz yang Mujmal
Penjelasan/Lafadz Mubayyan terhadap Lafadz yang mujmal itu ada tujuh macam, yaitu : (M. Umar, 1983 : 302 – 304)
Ø  Penjelasan dengan perkataan atau disebut juga penjelasan penguat. Misalnya kewajiban berpuasa atas orang yang mengerjakan ibadah Haji secara tamattu’, seperti firman Allah pada S. Al-Baqarah : 196 yang berbunyi:
!#sŒÎ*sù ÷LäêYÏBr& `yJsù yì­GyJs? Íot÷Kãèø9$$Î/ ’n<Î) Ædkptø:$# $yJsù uŽy£øŠtGó™$# z`ÏB Ä“ô‰olù;$# 4 `yJsù öN©9 ô‰Ågs† ãP$u‹ÅÁsù ÏpsW»n=rO 5Q$­ƒr& ’Îû Ædkptø:$# >pyèö7y™ur #sŒÎ) öNçF÷èy_u‘ 3 y7ù=Ï? ×ouŽ|³tã ×’s#ÏB%x.
Artinya:“Tetapi jika ia tidak menemukan (binatang korban atau tidak mampu), maka wajib berpuasa tiga hari dalam masa haji dan tujuh hari (lagi) apabila kamu telah pulang kembali. Itulah sepuluh (hari) yang sempurna”.
Kalimat “Itulah sepuluh (hari) yang sempurna” adalah penjelasan penguat bagi tiga dan tujuh hari yang telah ditetapkan sebelumnya.
Ø  Penjelasan dengan perbuatan. Seperti hadist Nabi yang berbunyi :
صلوا كما رايتموني اصلى
“Shalatlah kamu seperti kamu melihat aku shalat” (HR. Bukhari)
Hadits ini adalah merupakan penjelasan terhadap kemujmalan ayat-ayat shalat.
Ø  Penjelasan dengan tulisan. Seperti surat-surat Nabi yang dikirim ke daerah-daerah mengenai kadar dan pembagian zakat. Dan surat-surat itu merupakan penjelasan Rasulullah SAW terhadap kemujmalan ayat-ayat zakat.
Ø  Penjelasan dengan isyarat. Seperti penjelasan Rasulullah SWA mengenai bilangan dari bulan Ramadhan. Rasulullah mengatakan “Begini, begini, begini” (sambil mengangkat kedua tangannya dan mengisyaratkan dengan jari-jarinya). Dan hal ini diulang sampai dua kali dan pada kali yang kedua Rasulullah menekuk salah satu ibu jarinya.
Hal ini dapat dipahami bahwa jumlah hari bulan Ramadhan itu adakalanya 30 hari adakalanya 29 hari. Hadits ini merupakan bayan terhadap ayat-ayat tentang puasa.
Ø  Penjelasan dengan meninggalkan sesuatu. Seperti perbuatan Rasulullah SAW meninggalkan wudhu setelah memakan suatu makanan yang dimasak dengan api setelah pada mulanya Rasulullah mengambil wudhu sehabis memakan makanan yang dimasak dengan api
Ø  Penjelasan dengan sikap diam. Seperti tatkala Nabi menjelaskan tentang wajibnya ibadah haji, ada seseorang sahabat menanyakan apakah kewajiban haji itu tiap tahun? Nabi diam tidak menjawab.
diamnya Rasulullah tidak menjawab pertanyaan sahabatnya merupakan jawaban bahwa haji itu tidak wajib tiap tahun.
Ø  Penjelasan dengan mukhashshis-mukhashish terhadap dalil-dalil yang Am sebagaimana telah diterangkan pada bab tentang Ayat Am dan Khas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar