TUGAS USHUL FIQH II
Tentang :
‘’ Kaidah Nahi’’
Dosen :
Dr. H. Syukri Iska, M.Ag
Novialdi, M.Ag
Oleh:
Romi Widodo
09 – 202 – 041
JURUSAN SYARIAH PROGRAM STUDI MUAMALAH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN )BATUSANGKAR
TAHUN 2011
Kaidah Nahi
1. Pengertian dan Hakikat Nahi
Dalam bahasa artinya mencegah, melarang (al-man’u). Menurut istilah meminta untuk meninggalkan sesuatu perbuatan kepada orang lain yang tingkatannya dengan menggunakan ucapan yang sifatnya mengharuskan.
Nahi adalah Tuntutan untuk meninggalkan secara pasti, tidak menggunakan ‘Tinggalkanlah’atau yang sejenisnya.
Menurut ulama ushul nahi adalah suatu lafadz (ucapan) yang dipergunakan oleh orang yang lebih tinggi tingkatannya kepada orang yang lebih rendah dari padanya supaya tidak mengerjakan suatu perbuatan.
Jadi Nahi adalah suatu larangan yang harus ditaati yang datangnya dari atasan kepada bawahan, yakni dari Allah SWT kepada hamba-Nya
Artinya“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”.
Melarang perbuatan kerusakan dimuka bumi berarti perintah menjaga kelestarian lingkungan dengan menciptakan lingkungan yang bersih, sehat dan nyaman.
Dengan demikian jika suatu perbuatan itu dilarang maka saat itu juga harus segera ditinggalkan dan tidak boleh dilakukan sepanjang masa.
Hakikat Nahi
Memang dalam al-Qur’an terdapat beberapa kemungkinan maksud dari larangan. Untuk apa sebenarnya hakikat nahi itu dalam pengertian lughawi. Hal ini menjadi perbincangan di kalangan ulama, yaitu:
- Jumhur ulama yang berpendapat bahwa hakikat asal nahi itu adalah untuk haram dan ia baru bisa menjadi bukan haram bila ada dalil lain yang menunjukkannya. Dalam hal ini Jumhur ulama mengemukakan sebuah kaidah yang populer:
“Asal dari larangan adalah untuk hukum haram”
- Ulama Mu’tazilah yang berpendapat bahwa hakikat amar adalah untuk nadb (sunnat), dan berpendapat bahwa nahi itu menimbulkan hukum karahah (makruh). Berlakunya untuk haram tidak diambil dari larangan itu sendiri tetapi karena ada dalil lain yang memberi petunjuk.
2. Bentuk – Bentuk Lafaz Nahi
Kata-kata yang menunjukan larangan itu adakalanya dalam bentuk:
1. Fiil mudharik yang disertai la nahiyah, seperti firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 11:
وَإِذَا قِيلَ لَهُمْ لَا تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ
“janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi”
2. Lafadz-lafadz yang member pengertian haram, perintah meninggalkan suatu perbuatan, seperti:
v Firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 275
الَّذِينَ يَأْكُلُونَ الرِّبَا لَا يَقُومُونَ إِلَّا كَمَا يَقُومُ الَّذِي يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطَانُ مِنَ الْمَسِّ
“Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
v Firman Allah dalam surat ayat 30
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhalayang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta”
Makna larangan tidak selalu menunjukan haram tetapi juga bisa berubah sebagai berikut:
1. Makruh, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-maidah ayat 87:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُحَرِّمُوا طَيِّبَاتِ مَا أَحَلَّ اللَّهُ لَكُمْ وَلَا تَعْتَدُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ الْمُعْتَدِينَ
“ wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengharamkan apa-apa yang baik yang telah dihalalkan Allah kepadamu”
2. Irsyad (petunjuk atau bimbingan), seperti firman Allah dalam surat Al- Maidah ayat 101
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَسْأَلُوا عَنْ أَشْيَاءَ إِن تُبْدَ لَكُمْ تَسُؤْكُمْ وَإِن تَسْأَلُوا عَنْهَا حِينَ يُنَزَّلُ الْقُرْآنُ تُبْدَ لَكُمْ عَفَا اللَّهُ عَنْهَا ۗ وَاللَّهُ غَفُورٌ حَلِيمٌ
hai orang-orang yang beiman, janganlah kamu menanyakan( kepada nabimu)hal-hal yang jika diterangkan niscaya menyusahkan kamu”
3. Do’a, seperti firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 8
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِن لَّدُنكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنتَ الْوَهَّابُ
“ya Tuhan kami,janganlah Engkau jadikan hati kami condongkepada kesesatan sesudah engkau member petunjuk kepada kami”
4. Menghibur, menyenangkan hati, seperti firman Allah dalam surat
“jangan engkauberduka cita sesungguhnya Allah bersama kita”
5. Menerangkan akibat, seperti firman Allah dalam surat Ali-Imran ayat 169
وَلَا تَحْسَبَنَّ الَّذِينَ قُتِلُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتًا ۚ بَلْ أَحْيَاءٌ عِندَ رَبِّهِمْ يُرْزَقُونَ
“janganlah kamu mengira bahwa orang yang gugur di jalan Allah itu mati tetapi mereka itu hidup”
6. Iltimas sekedar mengharap seperti kita mengatakan kepada teman sendiri: jangan ganggu saya hari ini.
3. Permasalahan Nahi
Tidak semua kemungkaran dan kesalahan yang wajib diingkari, kecuali perbuatan dan kemungkaran yang memenuhi persyaratan berikut:
a) Perbuatan tersebut benar suatu kemungkaran , kecil atau besar
Maksudnya: Nahi mungkar tidak khusus terhadap dosa besar saja, tetapi mencakup juga dosa kecil, dan juga tidak disyaratkan kemungkaran tersebut berbentuk maksiat, barang siapa yang melihat anak kecil atau orang gila sedang meminum khamar maka wajib atasnya menumpahkan khamar tersebut dan melarangnya, begitu juga jika seseorang melihat orang gila melakukan zina dengan seorang perempuan gila atau binatang, maka wajib atasnya mengingkari perbuatan tersebut sekalipun dalam keadaan sendirian, sementara perbuatan ini tidak dinamakan maksiat bagi orang gila.
b) Kemungkaran tesebut masih ada
Maksudnya: Kemungkaran tersebut betul ada tatkala seorang yang bernahi mungkar melihatnya, apabila si pelaku telah selesai melakukan kemungkaran tersebut maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasihat, bahkan dalam keadaan seperti ini lebih baik ditutupi, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
من ستر مسلما ستره الله في الدنيا والآخرة
“Barangsiapa yang menutupi (kesalahan) seorang muslim, maka Allah akan menutupi (dosa dan kesalahan)nya di dunia dan akhirat” (HR. Muslim)
Sebagai contoh: Seseorang yang telah selesai minum khamar kemudian mabuk, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara menasihati apabila ia telah sadar. Dan ini (menutupi kesalahan dan dosa seorang muslim) tentunya sebelum hukum dan permasalahan tersebut sampai ke tangan pemerintah atau pihak yang berwenang, atau orang tersebut seseorang yang berwibawa dan tidak dikenal melakukan kemungkaran dan keonaran, apabila permasalahan tersebut telah sampai ke tangan pemerintah dengan cara yang syar’i, dan orang tersebut dikenal melakukan kerusakan, kemungkaran dan keonaran, maka tidak boleh ditutupi dan diberi syafaat. Adapun kemungkaran yang diperkirakan akan muncul dengan tanda-tanda dan keadaan tertentu, maka tidak boleh diingkari kecuali dengan cara nasehat lewat ceramah agama, khutbah dll.
c) Kemungkaran tersebut nyata tampa dimata-matai
Maksudnya: Tidak boleh memata-matai suatu kemungkaran yang tidak jelas untuk diingkari, seperti seseorang yang menutupi maksiat dan dosa di dalam rumah dan menutup pintunya, maka tidak boleh bagi seorang pun memata-matai untuk mengingkarinya, karena Allah melarang kita untuk memata-matai, Allah berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 12:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمٌ ۖ وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا ۚ أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۚ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”
d) Kemungkaran tersebut suatu yang disepakati, bukan permasalahan khilafiyah
Maksudnya: Jika permasalahan tersebut khilafiyah, yang berbeda pendapat ulama dalam menilainya maka tidak boleh bagi yang melihat untuk mengingkarinya, kecuali permasalahan yang khilaf di dalamnya sangat lemah yang tidak berarti sama sekali, maka ia wajib mengingkarinya, sebab tidak semua khilaf yang bisa diterima, kecuali khilaf yang memiliki sisi pandang yang jelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar