Minggu, 26 Juni 2011

LAFADZ DARI SEGI KEJELASANNYA



LAFADZ DARI SEGI KEJELASAN
A.PANDANGAN HANAFIYAH

1.      DZAHIR
Dzahir secara bahasa adalah lafadz yang bisa dipahami maknanya secara langsung tanpa ada kesamaran. Atau dzahir adalah lafadz yang jelas maknanya tanpa memerlukan qarinah untuk menafsirkannya, atau menjelaskan maksudnya, maknanya jelas dengan hanya mendengarkan bunyi lafadnya.
  Sedangkan secara istilah dzahir adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud dengan sighot sendiri tanpa ada tambahan dari luar, akan tetapi makna itu bukanlah makna yang dimaksud dalam konteks kalimat dan mengandung kemungkinan adanya takwil. Al Amidy memberikan definisi: Lafadz Zahir adalah apa yang menunjuk kepada makna yang dimaksud berdasarkan apa yang digunakan oleh bahasa menurut asal dan kebiasaannya, serta ada kemungkinan dipahami dari lafadz itu adanya maksud lain dengan kemungkinan yang lemah. Qodhi Abi Ya’la merumuskan definisi : Lafadz yang mengandung kemungkinan dua makna , namun salah satu diantara keduanya lebih jelas.
Contoh dzahir adalah firman Allah SWT ,
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا ﴿٢٧٥﴾
padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”
Ayat ini secara dzahir menunjukkan pembolehan jual beli dan pengharaman riba, karena bisa dipahami tanpa perlu qarinah akan tetapi konteks ayat menunjukkan perbedaan antara jual beli dan riba sebagai bantahan atas anggapan orang-orang munafik yang menyamakan antara jual beli dan riba. Maksud dari ayat ini bisa dipahami pada latar belakang diturunkannya ( asbabun nuzul). Kehalalan jual beli dan keharaman riba sudah diketahui sebelum diturunkannya ayat, kehalalan jual beli adalah makna yang pokok adapun keharaman riba dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Barr tentang ayat ini,” adapun ayat pengharaman riba telah diturunkan jauh mendahului sebagaimana yang ditunjukkan oleh firman Allah SWT dalam QS Ali- Imran ayat 130:
  يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ الرِّبَا أَضْعَافاً مُّضَاعَفَةً وَاتَّقُواْ اللّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ ﴿١٣٠﴾
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”
 Meskipun dzahir bisa dipahami tanpa qarinah namun tidak ada keterangan di dalam Al Quran yang tidak dilindungi dengan qarinah hingga bisa disalah pahami. Makna ini bukanlah yang dikehendaki secara asli, akan tetapi bisa dipahami dari nazm dengan berlandaskan kaidah-kaidah pemahaman yang sahih. Dengan demikian makna ini bersifat dzahir . dzahir disini bukan berarti mudah dipahami oleh orang awam akan tetapi mempunyai makna sekunder.
Tentang status hukum lafadz dzahir ini meski ada perselisihan apakah lafadz dzahir memberi makna yakin dan qathi’, tapi para fuqaha dan ulama ushul sepakat akan kewajiban melaksanakannya menurut lahirnya selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan lain dari lafadz itu.
Apabila hermeneutika diaplikasikan dalam lafadz dzahir maka akan banyak ajaran-ajaran pokok Al Quran yang dimentahkan. Makna tauhid dipaparkan lebih banyak dalam lafadz dzahir daripada nash. Hampir tidak ada ayat dalam Al Quran yang tidak menyinggung tauhid. Demikian juga petunjuk-petunjuk Al Quran sangat banyak disebutkan dalam lafadz dzahir. Akan terjadi pengkaburan makna tauhid pendangkalan akidah, dan dekonstruksi syariat islam. Makna-makna yang qathi’ akan diragukan, hukum-hukum yang wajib diamalkan, halal dan haram akan ditolak.
 Contoh lain adalah firman Allah dalam surat Al Hasyr ayat 7,
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا ﴿٧﴾
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”
2.      NASH
Definisi nash menurut al Sarkhasi adalah  lafadz yang mempunyai derajat kejelasan diatas dzahir dengan qarinah yang menyertai lafadz dari mutakallim, ditunjukkan dengan sighat sendiri atas makna yang dimaksud dalam konteks, mengandung kemungkinan takwil, menerima naskh dan takhsis.
Dari definisi ini menjadi jelaslah bagi kita bahwa nash mempunyai dalalah yang jelas sebagaimana dzahir. Pemahaman maknanya tidak bergantung pada petunjuk dari luar sighatnya. Demikian juga makna nash tidak memerlukan penelitian akan tetapi bisa langsung dipahami dengan sighatnya. Nash lebih jelas daripada dzahir. Sebab menjadi lebih jelasnya nash dari dzahir adalah disebabkan qarinah yang terdapat dalam kalam. Sebagai mana yang ada dalam Al Quran,
Qarinah sebagai pembeda antara dzahir dan nash dan sebagai petunjuk bahwasannya nash itulah yang dimaksud oleh kalam.Hukum nash sama dengan hukum dzahir yaitu wajib melaksanakannya sesuai dengan makna yang langsung dipahami dan konteks kalam dengan mengandung kemungkinan takwil  takhsis dan naskh. Namun apabila kemungkinan-kemungkinan ini tidak bersandar pada dalil maka hukum nash adalah qath’i atau yakin.
Meskipun berkedudukan sama dalam hukum yaitu kewajiban mengamalkannya berdasarkan pemahaman makna secara langsung akan tetapi nash lebih terang maknanya daripada dzahir. Nash itulah yang dituju menurut ungkapan asal, sedangkan dzahir bukanlah tujuan langsung dari pihak yang mengungkapkannya. Oleh karena itu makna yang dituju secara langsung itu lebih mudah untuk dipahami daripada makna yang lainnya yang tidak langsung. Juga kemungkinan nash mengandung takwil, takhsis dan naskh itu lebih kecil daripada dzahir. Atas dasar itu apabila terdapat pertentangan makna antara nash dan dzahir dalam penunjukannya, maka didahulukan yang nash.
3.      MUFASSAR
Dengan ditempatkannya Al Mufassar pada urutan ketiga menunjukkan ia lebih jelas dari dua lafadz sebelumnya. Ada beberapa definisi tentang mufassar, diantaranya :
Ø  Al Sarkhisi memberi definisi Nama bagi sesuatu yang terbuka yang dikenal dengannya secara terbuka dalam bentuk yang tidak ada kemungkinan mengandung makna lain.
Ø  Abdul Wahab Khalaf memberikan definisi Suatu lafadz yang dengan sighotnya sendiri memberi petunjuk kepada maknanya yang terinci begitu terincinya sehingga tidak dapat dipahami adanya makna lain dari lafadz tersebut.
Ø  Al Uddah memberikan definisi suatu lafadz yang dapat diketahui maknanya dari lafadznya sendiri tanpa memerlukan qorinah yang menafsirkannya. 
Hakikat lafadz mufassar:
Ø  Penunjukannya terhadap makna jelas sekali.
Ø  Penunjukannya itu hanya dari lafadz sendiri tanpa memerlukan qorinah dari luar.
Ø  Karena terang dan jelas dan terinci maknanya maka tidak mungkin ditakwilkan.
 Contohnya firman Allah dalam surat An-Nur ayat 2:

“Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera”
Lafadz tersebut mufassar karena ia adalah bilangan tertentu. Lafadz tersebut tidak mengandung pengurangan dan penambahan.
 Dengan demikian mufassar adalah lafadz atau kalam yang disertai dengan bayan taqriri atau bayan tafsiri sehingga menjadi lebih jelas dari pada nash dan maksudnya bisa dipahami dengan sighat bukan dengan makna dari mutakallim. Bayan Taqriri adalah keterangan yang memutus kemungkinan adanya takhsis apabila lafadznya ‘aam. Bayan Tafsiri adalah keterangan yang menghapus adanya kesamaran yang menyelimuti kalam sehingga menjadikannya jelas.
Apabila metode hermeneutik diaplikasikan pada ayat mufassar, maka ayat-ayat mujmal tetap dalam keadaan mujmalnya. Tidak ada makna pasti yang memerinci ayat-ayat mujmal agar bisa diaplikasikan ke dalam taklif syarie. Bagaiman pengertian sholat secara terminology syariah, pelaksanaan zakat dan haji. Masing-masing orang akan melaksanakan praktek ibadah atas dasar pemahamannya. Contoh mufassar adalah firman Allah dalam surat Al-baqarah ayat 110:
وَأَقِيمُواْ الصَّلاَةَ وَآتُواْ الزَّكَاةَ
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”
Ayat di atas adalah perintah untuk menegakkan sholat dan menuanaikan zakat secara mujmal. Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan makna dan pelaksanaan shalat dan zakat baik secara lisan maupun praktek. Maka lafadz ayat yang mujmal naik menjadi mufassar sehingga tidak menerima takwil.
4.      AL MUHKAM 
Muhkam adalah lafadz yang menunjukkan makna yang dimaksud,yang memang didatangkan untuk makna itu. Lafadz ini jelas pengertiannya, tidak menerima lagi adanya takwil dan takhsis. Bahkan terkadang disertai dengan ungkapan yang menunjukkan bahwa lafadz itu tidak menerima adanya nasakh. Seperti sabda Nabi SAW yang artinya: “Jihad itu terus menerus sampai hari kiamat.” Dan seperti firman Allah dalam surat An-Nur ayat 4,yang artinya: “ dan janganlah kamu menerima kesaksian mereka buat selama-lamanya”
Al Muhkam lebih kuat dari pada Al Mufassar tapi tidak lebih terang. Dikatakan demikian karena Al Muhkam tidak menerima nasakh sementara Al mufassar menerima. Ketidak menerimaan Al Muhkam terhadap naskh tidak mempengaruhi kejelasan lafadznya. Sebab ketidak menerimaan naskh bukan bersumber dari zat nash akan tetapi dari sebab yang lain. Oleh karena itu Almuhkam lebih kuat dari lafadz-lafadz yang lain.
Ada dua perkara yang menjadi sebab Al Muhkam tidak menerima naskh baik pada periode Rasulullah SAW maupun sesudah beliau wafat, yaitu :
Ø  Nash  muhkam yang mempunyai makna yang tidak mungkin berubah. Seperti hukum-hukum pokok dalam agama antara lain iman kepada Allah SWT, malaikat-malaikatNya, kitab-kitabNya,rasul-RasulNya dan iman kepada hari akhir, iman kepada sifat-sifat Allah SWT. Nash-nash tentang pokok-pokok akhlak yang utama yang diakui oleh akal yang sehat seperti kejujuran, menepati janji, amanah, bakti pada orang tua, sillaturrahmi dan nash-nash yang bermakna berlawanan dari itu. Seperti dusta, khianat,zalim, durhaka pada orang tua dan memutuskan sillaturrahim
Ø  Nash yang mengandung kemungkinan naskh baik pada lafadz maupun pada maknanya.Akan tetapi kemungkinan tersebut sirna karena meninggalnya Rasululloh SAW sebelum ada keterangan tentang naskhnya. Nash yang demikian masuk pada muhkam lighoirihi. Jadi seluruh bagian dari wadih dalalah yaitu dzahir,nash dan mufassar menjadi muhkam setelah meninggalnya Rasululloh SAW . Muhkam dalam arti bebas dari naskh bukan dari takhsis ataupun takwil.
Para ulama ushul sepakat bahwa al muhkam menduduki posisi tertinggi dalam kejelasan di antara derajat-derajat kejelasan lafadz. al muhkam menunjukkan makna yang jelas dan tidak ada kemungkinan takwil, takhsis dan naskh. Baik pada peride Rasulullah maupun sesudah beliau wafat. Wajib mengamalkan hukum lafadz muhkam secara pasti (qathi’) tanpa mengandung kemungkinan-kemungkinan alternatif  lain dan tidak mungkin dinaskh oleh lafadz lain. keterangan-keterangan tentang hal-hal yang metaphisis juga harus diyakini.
Contohnya adalah firman Allah SWT dalam  
فَاعْلَمْ أَنَّهُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ
 “Maka ketahuilah, bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan (Yang Haq) melainkan Allah
قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ
“Katakanlah: "Dia-lah Allah, Yang Maha Esa”
Ayat-ayat ini adalah semuanya muhkam lidzatihi. Dalalahnya jelas maknanya tidak mungkin berubah. baik karena takwil, takhsis maupun naskh. Karena ia adalah perkara pokok agama. Apabila hermeneutik diaplikasikan dalam lafadz ini maka perkara yang tetap akan berubah. Pokok-pokok yang harus diyakini akan didangkalkan dengan teori relativisme penafsiran.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar